Pitutur guru sejati tujuh
Pitutur guru sejati tujuh

Anggapannya sudah benar. Tak tahunya malah mematikan
pengertian yang benar. Akibatnya terperosok dalam penerapannya.
Ada pemuka agama yang ibaratnya menjadi burung. Ia hanya
sekedar mencari tempat bertengger saja. Yaitu pada batang kayu yang baik
rimbun, lebat buahnya, kuat batangnya. Untuk kemuliaan hidup baru. Ada orang
yang berkedudukan, ada yang ikut orang kaya. Akhirnya di masyarakatkan.
Ibaratnya seperti sekedar memperoleh kemuliaan sepele.Jadinya tersesat-sesat.
Ada pula yang justru memiliki jalan terpaksa. Menumpuk
kekayaan harta dan istri banyak. Ada pula yang memilih jalan menguasai
putranya. Putra yang bakal menguasai hak asasi orang per orang. Semuanya ingin
mendapatkan yang serba lebih di dalam memiliki jalan mereka. Kalau demikian
halnya, menurut pendapatku, belumlah mereka disebut pemuka agama yang berserah
diri sepenuhnya kepada Allah, tapi masih berkeinginan pribadi atau berambisi.
Agar semua itu menjunjung harkat dan martabat. Tatanan yang
tidak pasti, belum bisa disebut manusia utama. Yang demikian itu menurut
anggapannya dan perasaannya mendapatkan kebahagiaan, kekayaan dan mengerti hak
yang benar. Bila kemudian tertimpa kedudukan, terlanjur terbiasa. Memilih jalan
sembarang tempat, tanpa menghasilkan jerih payahnya dan tanpa hasil. Dalam arti
mengalami kegagalan total. Setidak-tidaknya menimbulkan kecurigaan. Apa
kebiasaan ketika hidup didunia.
Ketika menghadapi datangnya maut, disitulah biasanya tidak
kuat menerima ajal. Merasa berat meninggalkan kehidupan dunia tak tersangkal
lagi. Pokoknya masih lekat sekali pada kehidupan duniawi. Begitulah beratnya
mencari kemuliaan. Tidak boleh lagi merasa terlekat kepada anak-istri. Pada
saat-saat menghadap ajalnya. Bila salah menjawab pertanyaannya bumi, lebih baik
jangan jadi manusia! Kalau matinya binatang mudah penyelesaiannya.
Karena matinya tanpa pertanggungjawaban. Bila kau sudah
merasa hatimu benar. Akan hidup abadi tanpa hisab. Akibatnya, tubuh bumi itu
keterdiamannya tidak membantu. Kesepiannya tidak mencair. Tidak mempedulikan
pembicaraan orang lain yang ditujukan kepadanya. Ingatlah pada agamawan selalu
mencari penyelesaian yang benar. Yaitu bagaimana hilang dan mati bersama
raganya ialah diidamkannya.
Sehingga mempertinggi semedinya, untuk mengejar
keberhasilan. Tapi sayang tanpa petunjuk Allah, apalagi hanya semedi semata.
Tidak disertai dukungan ilmu.Akibatnya hasilnya kosong melompong. Karena hanya
mengandalkan pikirnya. Ini berarti belum mendapat tata cara hidup yang benar
hakiki yang seperti ini adalah idaman yang sia-sia. Bertapanya sampai kurus
kering, karena sedemikian rupa caranya menggapai kematian. Akhirnya
meninggalnya tanpa ketentuan yang benar.
Karena terlalu serius.adapun cara yang benar adalah tapa itu
hanya sebagai ragi atau pemantap pendapat. Sedangkan ilmu itu sebagai
pendukung. Tapa tanpa ilmu tidak akan berhasil. Bila ilmu tanpa tapa Rasanya
hambar tidak akan memberi hasil. Berhasil atau tidaknya tergantung pada
penerapannya. Dicegah hambatannya yang besar, sabar dan tawakal. Bukankah
banyak agamawan palsu. Ajarannya setengah-setengah. Kepada sahabatnya merasa
pintar sendiri.
Yang tersimpan dihati, segera dilontarkan segala
uneg-unegnya. Disampaikan kepada gurunya. Penyampaiannya hanya berdasarkan
perkiraan belaka.
Dahulunya belum mendapatkan pelajaran. Sangking tobatnya
tidak merasa enak kalau menyanggah. Lalu ikut-ikutan mendengarkan. Dengan
menamakan rohaniwan yang terbesar. Dianggapnya sudah pasti pendapatnya benar.
Pendapatnya atau ilmunya adalah wahyunya itu anugerah yang khusus diberikan
pribadi.
Akhirnya sahabatnya diaku sebagai anak. Ditekan-tekankan
tuntutan besar berupa ikatan batin. Oleh guru bila sudah akan mejang atau
menyampaikan ajaran, duduk merasa sering berdekatan. Sehingga sahabat dikuasai
oleh guru, dan sang guru menjadi sahabat batin. Luansnya tanggapan bahwa
segalanya merupakan merupakan wahyu Alloh. Kebaikannya, keduanya antara guru
dan sahabat saling memahami.
Kalau seorang diantara mereka dianggap sebagai orang yang
berilmu. Harus ditaati segala apapun yang diucapkan itu. Misalnya berjalan juga
harus disembah biasanya bertempat di pucuk-pucuk gunung. Pengaruh ajarannya
sangat mengundang perhatian menemui perguruannya. Bila ada yang berguru atau
menghadap, nasihatnya macam-macam dan banyak sekali. Seperti gong besar yang
dipukul. Bukankah ajarannya yang dibeber tidak bermutu atau berbobot.
Akibatnya rugilah mereka yang berguru..? Janganlah seperti
itu orang hidup. Anggaplah ragamu sebagai wayang. Digerakkan ditempatnya.
Terangnya blencong itu ibarat panggung kehidupanmu. Lampunya bulan purnama,
layar ibarat alam jagad raya yang sepi kosong. Yang selalu menunggu-nunggu buah
pikir atau kreasi manusia. Batang pisang ibarat bumi tempat bermukim manusia.
Hidupnya ditunjang oleh yang nanggap. Penanggapnya ada di dalam rumah, istana.
Tidak diganggu oleh siapapun. Boleh berbuat menurut kehendaknya. Hyang Permana
dalangnya. Wayang pelakunya. Adakalanya digerakkan ke utara ke selatan dan
barat serta timur. Seluruh gerakkannya. Digerakkan oleh sutradara. Bila
semuanya digerakkan berjalan.
sumber : https://jiwa2kegelapan.wordpress.com
Komentar
Posting Komentar