Pitutur guru sejati satu
Pitutur guru sejati satu
Perjalanan Syeh Malaya yang berkehendak naik haji menuju
Mekah, dia menempuh jalan pintas. Syekh Malaya menerobos hutan, naik gunung,
turun jurang, tetebingan di dakinya memutar, melintasi jurang dan tanjakan. Tanpa terasa
perjalanannya telah sampai di tepi pantai.
Hatinya bingung, kesulitan menempuh jalan selanjutnya karena
terhalang oleh samudera luas, sejauh memandang tampak air semata. Dia diam
tercenung lama sekali di tepi samudera memutar otak mencari jalan yang
sebaiknya ditempuh. mengetahui kedatangan seorang yang tengah bingung yaitu
Syekh Malaya. Sang Mahyuningrat tahu segala perjalanan yang dialami oleh Syekh Malaya
dengan sejuta keprihatinan karena ingin meraih iman hidayah.
Berbagai cara telah ditempuh, juga melalui penghayatan
kejiwaan dan berusaha mengungkap berbagai rahasia yang tersembunyi, namun
mustahil dapat menemukan hidayah, kecuali kalau mendapatkan anugerah Alloh yang
haq. Syekh Malaya ternyata sudah terjun
merenangi samudra luas, dan tidak mempedulikan nasib jiwanya sendiri. Semakin
lama Syekh Malaya sudah hampir sampai tengah samudra, mengikuti jalan untuk
mencapai hakikat yang tertinggi dari Alloh, tidak sampai lama, sampailah di
tengah samudra.
Beliau kehabisan tenaga untuk mengarungi samudra menuju
Mekah. Dengan sisa-sisa tenaga yang ada ia berusaha mempertahankan diri jangan
sampai tenggelam di dasar laut. Yang tampak kini. Syekh Malaya timbul-tenggelam di permukaan
laut berjuang menyelamatkan nyawanya.
Ternyata disaat Syekh Malaya dalam keadaan yang kritis itu berjuang
antara hidup dan mati, tiba-tiba penglihatannya melihat seseorang yang sedang
berjalan di atas air dengan tenangnya, yang tidak dari mana datangnya.
Seketika itu pula, tahu-tahu Syekh Malaya sudah dapat duduk
tenang diatas air.Orang yang mendekati Syekh Malaya tidak lain adalah Nabi
Khidir yang menyapa Syekh Malaya dengan lemah lembut, “Syekh Malaya apakah
tujuanmu mendatangi tempat ini..? Apakah yang kau harapkan..? Ketahuilah di
sini tidak ada apa-apa.! Tidak ada yang dapat dibuktikan, apalagi untuk dimakan
dan berpakaian pun tidak ada.
Yang ada hanyalah daun kering yang tertiup yang jatuh di
depanku, itu yang saya makan, kalau tidak ada tentu tidak makan. Senangkah kamu melihat kenyataan semua itu?”.
Sunan Kalijaga heran mengetahui penjelasan ini. Nabi Khidir berkata lagi kepada
Sunan Kalijaga, “Cucuku, di sini ini banyak bahayanya, kalau tidak mati-matian
berani bertaruh nyawa, tentu tidak mungkin sampai di sini.
Di tempat ini segalanya tidak ada yang dapat diharapkan
hasilnya. Mengandalkan pikiranmu saja belum apa-apa, biarpun kamu tidak takut
mati. Kutegaskan sekali lagi, di sini kau tidak mungkin mendapat apa yang kau
maksudkan!”. Syekh Malaya bingung tidak tahu apa yang harus diperbuat, dia
menjawab pertanyaan Nabi Khidir, bahwa dia tidak mengetahui akan langkah yang
sebaiknya perlu ditempuh setelah ini.
Tidak tahu apa yang akan dilakukannya kemudian..! “Syekh Malaya pasrah diri kepada Nabi Khidir
, katanya “Terserah bagaimana baiknya menurut Guru”. Sang guru Nabi Khidir
menebak, “Apakah kamu juga sangat mengharapkan hidayatullah Allah?”. Akhirnya
Kanjeng Nabi Khidir menjelaskan, “ikutilah petunjukku sekarang ini!” “Kamu
telah berusaha menjalankan petunjuk gurumu Sunan Bonang yang menyuruhmu menuju
kota Mekah, dengan keperluan naik haji.
Maka ketahuilah olehmu, makna tugas itu yaitu : sungguh
sulit menjalankan lika-liku kehidupan ini”.
“Jangan pergi kalau belum tahu yang kau tuju dan jangan makan kalau
belum tahu rasanya yang dimakan, jangan berpakaian kalau belum tahu kegunaan
berpakaian. Lebih jelasnya tanyalah
sesama manusia sekaligus dengan persamaannya, kalau sudah jelas amalkanlah!”.
“Demikianlah seharusnya hidup itu, ibarat ada orang dari gunung, akan membeli emas, oleh tukang emas biarpun
diberi kuningan tetap dianggap emas mulia.
Demikianlah pula dengan orang berbakti, bila belum yakin
benar, pada siapakah yang harus disembah..?”
Syekh Malaya ketika mendengar itu, spontan duduk berlutut mohon belas
kasihan, setelah mendapati kenyataan Nabi Khidir betul-betul serba tahu yang
tersimpan di hatinya. Dengan duduk bersila dia berkata, “Yang kami dengar akan
kami laksanakan apa pun jadinya nanti. “Syekh Malaya meminta kasih sayang,
memohon keterangan yang jelas’, siapakah nama tuan..? Mengapa di sini
sendirian..? Sang Pajuningrat menjawab,
“sesungguhnya saya ini Nabi Khidir”.
Syekh Malaya berkata, “saya menghaturkan hormat
sedalam-dalamnya kepada tuan junjunganku dan mohon petunjuk serta perlu
dikasihani, saya juga tidak tahu benar tidaknya pengabdianku ini. Tidak lebih
bedanya dengan hewan di hutan, itupun masih tidak seberapa, bila mau
menyelidiki kesucian diriku ini. Dapat dikatakan lebih bodoh dan dungu serta
tercela ibarat keris tanpa kerangka dan ibarat bacaan tanpa isi tersirat”. Maka
berkata dengan manisnya Sang Nabi Khidir kepada Sunan Kalijaga…
“Jika kamu berkehendak naik haji ke Mekah, kamu harus tahu
tujuan yang sebenarnya menuju ke Mekah itu. Ketahuilah mekah itu hanya tapak
tilas saja! Yaitu bekas tempat tinggal Nabi Ibrahim zaman dahulu. Beliulah yang
membangun Ka’bah Masjidil Haram serta yang menghiasi Ka’bah itu dengan benda
yang berupa batu hitam (Hajar Aswad) yang tergantung di dinding Ka’bah tanpa
digantungkan. Apakah Ka’bah itu yang hendak kamu sembah..? Kalau itu yang
menjadi niatmu, berarti kamu sama halnya menyembah berhala atau bangunan yang
dibuat dari batu.
Perbuatanmu itu tidak jauh berbeda dengan yang diperbuat
oleh orang kafir, karena hanya sekedar menduga-duga saja wujud Alloh yang
disembah, dengan senantiasa menghadap kepada berhalanya. Oleh karenanya itu,
biarpun kamu sudah naik haji, bila belum tahu tujuanya yang sebenarnya dari
ibadah haji tentu kamu akan rugi besar. Maka dari itu, ketahuilah bahwa Ka’bah
yang sedang kau tuju itu, bukannya yang terbuat dari tanah atau kayu apalagi
batu, tetapi Ka’bah yang hendak kau kunjungi itu sebenarnya Ka’bahtullah
(Ka’bah Alloh). Demikian itu sesunggunya iman hidayah yang harus kamu yakinkan dalam
hati”.
Nabi Khidir memerintah, “Syekh Malaya segeralah kemari
secepatnya.! Masuk ke dalam tubuhku!” Syekh Malaya terhenyak hatinya tak dapat
dicegah lagi, keluarlah tawanya, bahkan sampai mengeluarkan air mata seraya
berkata halu. “Melalui jalan manakah harus masuk ke dalam tubuhmu, padahal saya
tinggi besar melebihi tubuhmu, kira-kira cukupkah..? Melalui jalan manakah
usaha saya untuk masuk..? Padahal nampak olehku buntu semua..?.
Nabi Khidir berkata dengan lemah lembut. “Besarmana kamu
dengan bumi, semua ini beserta isinya, hutan rimba dan samudera serta gunung
tidak bakal penuh bila dimasukkan kedalam tubuhku, jangan khawatir bila tak
cukup masuklah di dalam tubuhku ini. Syekh Malaya setelah mendengarnya semakin
takut sekali dan bersedia melaksanakan tugas memasuki badan Nabi Khidir, namun
bingung tak tahu cara melaksanakannya. Menolehlah Nabi Khidir, ini jalan di
telingaku ini”.Syekh Malaya masuk dengan segera melalui telinga Nabi Khidir.
Sesampainya di dalam tubuh Nabi Khidir, Syekh Malaya melihat
samudera luas tiada bertepi sejauh mata memandang, semakin diamati semakin jauh
tampaknya. Nabi Khidir bertanya keras-keras, “hai apa yang kamu lihat..?”
Syekh Malaya segera menjawab, “Angkasa Raya yang kuamati,
kosong melompong jauh tidak kelihatan apa-apa, kemana kakiku melangkah, tidak
tahu arah utara selatan barat timur pun tidak kami kenal lagi, bawah dan atas
serta muka belakang, tidak mampu saya bedakan. Bahkan semakin membuat aku
bingung”.
Nabi Khidir berkata lemah-lembut, “usahakan jangan sampai
bingung hatimu”. Tiba-tiba Syekh Malaya melihat suasana terang benderang.
Dihadapannya nampak Nabi Khidir, Syekh Malaya melihat Nabi Khidir malayang di
udara kelihatan memancarkan cahaya gemerlapan. Saat itu Syekh Malaya melihat
arah utara selatan, barat dan timur sudah kelihatan jelas, atas serta bawah
juga sudah terlihat dan mampu menjaringf matahari, tenang rasanya sebab melihat
Nabi Khidir, rasanya berada di alam yang lain dari yang lain.
Nabi Khidir berkata lembut, “jangan berjalan hanya sekedar
berjalan, lihatlah dengan sungguh-sungguh apa yang terlihat olehmu”. Syekh Malaya menjawab, “Ada warna empat macam
yang nampak padaku semua itu sudah tidak kelihatan lagi, hanya empat macam yang
kuingat yaitu hitam merah kuning dan putih”.
Berkata Nabi Khidir, “yang pertama kau lihat cahaya mencorong tapi tidak
tahu namanya ketahuilah itu adalah pancamaya, yang sebenarnya ada di dalam
dirimu sendiri yang mengatur dirimu.
Pancamaya yang indah itu disebut mukasyafah, bila mana kamu
mampu membimbing dirimu ke dalam sifat terpuji, yaitu sifat yang asli. Maka
dari itu jangan asal bertindak, selidikilah semua bentuk jangan sampai tertipu
nafsu. Usahakan semaksimal mungkin agar hatimu menduduki sifat asli, perhatikan
terus hatimu itu, supaya tetap dalam jati diri!” Tentramlah hati Syekh Malaya,
setelah mengerti itu semua dan baru mantap rasa hatinya serta gembira. Nabi
Khidir melanjutkan penjelasannya, “adapun yang kuning, merah, hitam serta putih
itu adalah penghalanya.
Sebab isinya dunia ini sudah lengkap, yaitu terbagi kedalam
tiga golongan, semuanya adalah penghalang tingkah laku, kalau mampu menjauhi
itu pasti dapat berkumpul dengan ghaib, itu yang menghalangi meningkatkan citra
diri. Hati yang tiga macam yaitu hitam, merah dan kuning, semua itu menghalangi
pikiran dan kehendak tiada putus-putusnya. Maksudnya akan menghalangi
menyatunya hamba dengan Tuhan yang membuat nyawa lagi mulia.
Jika tidak tercampur oleh tiga hal itu, tentu terjadi
hilangnya jiwa, maksudnya orang akan mencapai tingkatan Maqom Fana dan akan
masuk Maqom Baqo atau abadi. Maksudnya senantiasa berdekatan rapat dengan Sang
Pencipta. Namun yang perlu diperhatikan dan diingat dengan seksama, bahwa
penghalang yang ada dalam dihati, mempunyai kelebihan yang perlu kamu ketahui
dan sekaligus sumber inti kekuatannya.
Yang hitam lebih perkasa, pekerjaanya marah, mudah sakit
hati, angkara murka secara membabi buta. Itulah hati yang menghalangi, menutup
kepada kebajikan. Sedangkan yang berwarna merah, ikut menunjukkan nafsu yang
tidak baik, segala keinginan nafsu keluar dari si merah, mudah emosi dalam
mencapai tujuan, hingga menutup kepada hati yang sudah jernih tenang menuju
akhir hidup yang baik (khusnul khatimah).
Adapun yang berwarna kuning, kemampuannya mengahalangi
segala hal, pikiran yang baik maupun pekerjaan yang baik. Hati kuninglah yang
menghalangi timbulnya pikiran yang baik hanya membuat kerusakan, menelantarkan
ke jurang kehancuran. Sedangkan yang putih itulah yang sebenarnya, membuat hati
tenang serta suci tanpa ini itu, pahlawan dalam kedamaian” Nabi Khidir memberi
kesempatan bagi Syekh Malaya untuk merenungkan penjelasannya tadi.
Selanjutnya beliu berkata, “hanya itulah yang dapat
dirasakan manusia akan kesaksiannya. Sesungguhnya yang terwujud adanya, hanya
menerima anugrah semata-mata dan hanya itulah yang dapat dilaksanakan. Kalau
kamu tetap berusaha agar abadi berkumpulnya diri dekat Tuhan, maka
senantiasa-lah menghadapi tiga musuh yang sangat kejam, besar dan tinggi hati.
Ketiga musuhmu saling kerjasama, padahal si putih tanpa teman, hanya sendirian
saja, makanya sering dapat dikalahkan.
Kalau sekiranya dapat mengatasi akan segala kesukaran yang
timbul dari tiga hala itu, maka terjadilah persatuan erat wujud, tanpa
berpedoman itu semua tidak akan terjadi persatuan erat antara manusia dan
Penciptanya”. Syekh Malaya sudah memahaminya, dengan semangat mulai berusaha
disertai tekad membaja demi mendapatkan pedoman akhir kehidupan, demi
kesempurnaan dekatnya dengan Alloh SWT.
sumber : https://jiwa2kegelapan.wordpress.com
Komentar
Posting Komentar