Pitutur guru sejati lima
Pitutur guru sejati lima

Cahayanya berasal dari ruh itu, yang terus menerus meliputi
jasad. Yang mengisayaratkan sifat jalal (sifat yang perkasa) dan sekaligus
mengisyaratkan adanya sifat jamal (sifat keindahan). Jauhar awal mayit (mutiara
awal kematian) itu, memberi isyarat hilangnya diri ini. Jelasnya, semua yang tercipta akan mati.
Setelah semuanya menemui kematian di dunia, maka akan berganti hidup di
akherat, Kurang lebih tiga hari perubahan hidup itu pasti terjadi.
Asal mula manusia terlahir, dari adanya Ayah, Ibu serta
Tuhan Yang Maha Pencipta. Satu kelahiran berasal dari tiga asal lahir. Ya,
itulah isyarat dari tiga hari. Setelah dititipkan selama tujuh hari, maka
dikembalikan kepada yang menitipkan (yang memberi amanat). Titipan itu harus
seperti sedia kala.
Bukankah tauhid itu sebagai sarana untuk makrifat..? Titipan
yang ketiga puluh hari, itu juga termasuk juga titipan, yang ada hanya
kemiripan dengan yang tujuh hari.
Kalau menangis mengeluarkan air mata karena menyesali
sewaktu masih hidup. Seperti teringat semasa kehidupan itu berasal dari Nur.
Yang mana cahayanya mewujudkan dirimu. Hal itulah yang menimbulkan kesedihan
dan penyesalan yang berkepanjangan. Tak terkecuali siapun yang merasakan itu
semua, sebagaimana kamu mati, saya merasa kehilangan. Mati atau hilang
bertepatan hari kematian yang keempat puluh hari. Bagaimanakah yang lebih tepat
untuk melukiskan persamaan sesama makhluk hidup secara keseluruhannya..?
Allah dan Muhammad semuannya berjumlah satu. Seratuspun
dapat dilukiskan seperti satu bentuk, seperti diibaratkan dengan adanya cahaya
yang bersumber dari cahaya Muhammad yang sesungguhnya. Sama hal pada saat kamu
memohon sesuatu. Ruh jasad hilang di dalamnya, kehadirat Tuhan Yang Maha
Pemberi. Tepat pada hari keseribu, tidak ada yang tertinggal. Kembalinya pada
Allah sudah dalam keadaan yang sempurna. Sempurna seperti mula pertama dalam
keadaan yang sempurna. Sempurna seperti mula pertama diciptakan”.
Syekh Malaya terang hatinya, mendengarkan pelajaran yang
baru diterima dari gurunya Syekh Mahyuningrat Nabi Khidir. Syekh Malaya senang
hatinya sehingga beliau belum mau keluar dari dalam tubuh Kanjeng Nabi Khidir.
Syekh Malaya menghaturkan sembah, sambil berkata manis seperti gula madu.
“Kalau begitu hamba tidak mau keluar dari raga dalam tuan. Lebih nyaman di sini
saja yang bebas dari sengsara derita. Tiada selera makan dan tidur. Tidak
merasa ngantuk dan lapar.
Tidak harus bersusah payah dan bebas dari rasa pegal dan
nyeri. Yang terasa hanyalah rasa nikmat dan manfaat. Nabi Khidir
memperingatkan, “yang demikian tidak boleh kalau tanpa kematian”! Nabi Khidir
semakin iba kepada pemohon yang meruntuhkan hatinya. Kata Nabi Khidir, “kalau
begitu yang awas sajalah..! Terhadap hambatan upaya..! Jangan sampai kau
kembali..! Memohonlah yang benar dan waspada. Anggaplah kalau sudah kau kuasai,
jangan hanya digunakan dengan dasar bila ingat saja, karena hal itu sebagai
rahasia Allah.
Tidak diperkenankan mengobrol kepada sesama manusia, kalau
tanpa seizin-Nya..! Sekiranya ada yang akan mempersoalkan, memperbincangkan
masalah ini! Jangan sampai terlanjur..! Jangan sampai membanggakan diri..!
Jangan peduli terhadap gangguan, cobaan hidup..! Tapi justru terimalah dengan
sabar..! Cobaan hidup yang menuju kematian, ditimbulkan akibat buah pikir.
Bentuk yang sebenarnya ialah tersimpan rapat di dalam jagadmu..! Hidup tanpa
ada yang menghidupi kecuali Alloh saja.
Tiada antara lamanya tentang adanya itu. Bukankah sudah
berada di tubuh..? Sungguh, bersama lainnya selalu ada dengan kau..! Tak
mungkin terpisahkan..!
Kemudian tidak pernah memberitahukan darimana asalnya dulu.
Yang menyatu dalam gerak perputaran bawana. Bukankah berita sebenarnya sudah
ada padamu..? Cara mendengarnya adalah denga ruh sejati, tidak menggunakan
telinga. Cara melatihnya, juga tanpa dengan mata. Adapun telinganya, matanya
yang diberikan oleh Alloh. Ada padamu itu.
Secara lahir sukma satu ada padamu. Secara batinnya ada pada
sukma itu sendiri. Memang demikianlah penerapannya. Ibarat seperti batang pohon
yang dibakar, pasti ada asap apinya, menyatu dengan batang pohonnya. Ibarat air
dengan alunnya. Seperti minyak dengan susu, tubuhnya dikuasai gerak dan kata
hati. Demikian pun dengan Hyang Sukma. Sekiranya kita mengetahui wajah hamba
Tuhan. Dan sukma yang kita kehendaki ada.
Diberitahu akan tempatnya seperti wayang ragamu itu. Karena
dalanglah segala gerak wayang. Sedangkan panggungnya jagad. Bentuk wayang
adalah sebagai bentuk badan atau raga. Bergerak bila digerakkan. Segala-galanya
tanpa kelihatan jelas, perbuatan dengan ucapan. Yang berhak menentukan
semuanya, tidak tampak wajahnya. Kehendak justru tanpa wujud dalam bentuknya.
Karena sudah ada pada dirimu. Permisalan yang jelas ketika berhias.
Yang berkaca itu Hyang Sukma, adapun bayangan dalam kaca itu
ialah dia yang bernama manusia sesungguhnya. Berbentuk di dalam kaca.
Lebih besar lagi pengetahuan tentang kematian ini
dibandingkan dengan kesirnaan jagad raya, karena lebih lembut seperti lembutnya
air. Bukankah lebih lembut kematian manusia ini..? Artinya lembut ialah karena
kecilnya. Sekecil kuman. Bukankah lebih lembut kesirnaan manusia? Artinya lebih
dari, karena menentukan segalanya.
Sekali lagi artinya lembut ialah sangat kecilnya. Dapat
mengenai yang kasar dan yang kecil. Mencakup semua yang merangkak, melata tiada
bedanya, benar-benar serba lebih. Lebih pula dalam menerima perintah dan tidak
boleh mengandalkan pada ajaran dan pengetahuan. Karena itu bersungguh sungguhlah
menguasainya. Badan atau dirimu doronglah dalam meraihnya. Pahamilah liku-liku
ulah tingkah kehidupan manusia..! Ajaran itu sebagai ibarat benih sedangkan
yang diajari ibarat lahan.
Misal kacang dan kedelai. Yang disebar di atas batu. Kalau
batunya tanpa tanah pada saat kehujanan dan kepanasan, pasti tidak tidak akan
tumbuh. Tapi bila kau bijaksana, melihatmu musnahkanlah pada matamu! Jadikanlah
penglihatanmu sukma dan rasa. Demikian pula wujudmu, suaramu. Serahkan kembali
kepada yang Empunya suara! Justru kau hanya mengakui saja sebagai pemiliknya.
Sebenarnya hanya mengatasnamai saja.
Maka dari itu kau jangan memiliki kebiasaan yang menyimpang,
kecuali hanya kepada Hyang Agung. Dengan demikian kau “Angraga Sukma.” Yaitu
kata hatimu sudah bulat menyatu dengan kawula Gusti. Bicarakanlah menurut
pendapatmu..! Bila pendapatmu benar-benar meyakinkan, bila masih merasakan
sakit dan was-was, berarti kejangkitan bimbang yang sebenarnya.
https://jiwa2kegelapan.wordpress.com
Komentar
Posting Komentar