Pitutur guru sejati 21
Pitutur guru sejati 21
Petikan wejangan Sayyid Al-Imam Abdullah Al-Hadad.ra
[Al-Fushul al-Ilmiyyah wa al-Ushul al-Hukmiyyah, Sayyid
Al-Imam Abdullah Al-Hadad.ra]
Di antara perkara-perkara yang boleh membahayakan seorang
murid ialah mencita-citakan(menginginkan) Mukasyafah (penyingkapan
rahasia-rahasia Tuhan) dan berharap keramat serta perkara-perkara diluar
kebiasaan adat berlaku atas dirinya. Ingatlah wahai murid, bahwa
perkara-perkara serupa ini tidak akan muncul selagi kamu dituntut atau
diminta-minta dengan berdasarkan hawa dan nafsu kerana pada kebiasaanya ia
tidak akan muncul melainkan pada orang-orang yang membencinya dan tidak
menduganya sama sekali.
Keterangan:
“Kebanyakkan murid dan salik bercita-cita untuk memperolehi
‘mukasyafah’ iaitu terbukanya rahasia-rahasia Tuhan dan bila terbukanya rahasia
ketuhanan maka beralihlah ia untuk mencapai kedudukkan keramat yang mempunyai
perkara-perkara diluar kebiasaan adat resam sebagai manusia biasa kerana
tercapainya kedudukkan keramat akan membawanya kepada kedudukkan luar biasa,
macam ‘superman’. Ingatlah wahai murid dan salik, perkara ini tidak
akan datang selagi kamu mencarinya atau meminta-minta dengan
berlandaskan hawa nafsu.
Kerana pada kebiasaanya keramat ini tidak akan datang
melainkan pada orang-orang yang sangat membencinya dan tidak sangka sama sekali
bila ia datang. Orang yang benci pada
kedudukkan keramat ini adalah semata-mata tidak mahu
diganggu oleh manusia lain kerana tumpuan yang selama ini diberikan untuk Allah
akan beralih kepada manusia dengan terpaksa melayani fi’il tabiat manusia yang
hanya ingin kesenangan dan menolak kesusuhan kerana kebanyakkan manusia
sebegini adalah manusia yang buta mata hatinya”.
Adakalanya perkara-perkara seumpama keramat dan sebagainya
itu berlaku juga pada golongan orang yang tertipu dengan cita-cita untuk
mencelakakan dirinya dan sebagai suatu 69 Petunjuk Jalan Thariqat pengujian
terhadap kamu Mu’minin yang lemah I’tikadnya. Semua itu tidak boleh dikira
sebagai keramat yang benar, malah ia merupakan sebagai suatu penghinaan kepada
orangorang
yang mendakwa keramat itu. Sebab keramat hanya lahir (ada)
pada orang-orang ahli istiqamah, yakni orang-orang yang sudah terkenal lurus
dalam perjalanannya.
Keterangan:
“Kadang-kadang perkara seperti keramat berlaku juga pada
orang yang tertipu dengan angan-angannya. Ini adalah sebagai hukuman dari Allah
untuk mencelakakan dirinya dan sebagai pelajaran bagi kaum mu’minin yang lemah
keyakinannya terhadap Allah Taala.
Sekiranya berlaku juga sesuatu diluar dugaan manusia itu
adalah ‘ketetapan hukum yang
berlaku pada masa itu’ bukan pada keramat seperti yang
didakwa oleh orang yang tertipu dan orang yang ditipu. Keramat hanya akan
datang pada orang-orang yang ahli didalam istiqamah sahaja. Lain cara jangan
haraplah! Istiqamah didalam menjalankan ketaatan perintah Allah Taala dan
RasulNya. Sangatlah mudah untuk mengetahui seseorang itu menerima anugerah
keramat ataupun tidak, lihatlah akan ketaatannya pada perintah Allah dan
RasulNya. Mudah bukan! Maka dengan itu janganlah lekas terperdaya dengan
dakwaan
seseorang itu keramat atau tidak, lihatlah pada
istiqamahnya”.
Wahai kamu murid! Sekiranya Allah Taala telah memberikan
penghormatan keramat kepada kamu, maka hendaklah kamu mensyukuriNya. Awas,
janganlah pula kamu berhenti dari meneruskan amalan kamu lantaran keramat itu
telah muncul atas diri kamu. Juga hendaklah kamu tidak bermegah sangat dengan
keramat itu, lalu kamu mengantungkan semua harapan ke atasnya. Hendaklah kamu
merahsiakan keramat itu dari orang ramai dan jangan membicarakannya dengan
mereka.
Keterangan:
“Sekiranya ditakdirkan oleh Allah Taala memberikan
penghormatan keramat kepada kamu, maka hendaklah kamu mensyukuriNya atas
pemberianNya. Tapi ingat! Selagi kamu tidak tahu mensyukuriNya bagaimana
mungkin penghormatan keramat akan diberikan? Dan janganlah pula kamu ‘pencen’
pulak dari meneruskan amalan ketaatan kerana keramat sudah dapat dan
kerana telah sibuk melayani manusia . . . Janganlah kamu
bertepuk dada lantaran keramat itu dan mengantungkan semua harapan kamu
keatasnya. Kalau perbuatan itu tidak dibuat macam mana orang nak tahu kamu
keramat? Rugilah . . . Duit tak masuk . . .
Rahasiakan keramat itu dari orang ramai dan jangan
membicarakannya kalau kamu tidak mahu disibukkan oleh mereka . . .”.
Akan tetapi, jika semua itu tidak pernah muncul atau lahir
atas diri kamu, meskipun kamu telah banyak beramal dan beribadat, maka
janganlah sampai kamu mencita-citakannya dan jangan juga merasa kesal dan
dukacita, apabila dengan tiba-tiba ia hilang tidak menjelma lagi.
Dorongan bathin untuk menuju ke jalan Allah, ketahuilah
bahwa jalan yang pertama-tama harus ditempuh adalah mengeluarkan dorongan yang
kuat dihati untuk berminat dan mengajak untuk menuju Allah Ta’ala dan menuju
jalan ke Akherat, serta menomor duakan dunia, dari segala yang biasanya dikejar
manusia kebanyakan.
Seperti mengumpulkan menumpuk kekayaan, bersenang-senang
menurut hawa nafsunya, serta bermegah-megahan, dalam tindakan dan kemewahannya.
Dorongan ini merupakan rahasia-rahasia Tuhan yang
dilimpahkan ke dalam hati hamba-Nya, itulah yang dikatakan inayah Tuhan dan
tanda-tanda petunjuk-Nya, sering inayah serupa di limpahkan ke dalam hati
hambanya dikala dalam ketakutan atau menggembirakan atau timbulnya kerinduan
terhadap Zat-Nya, ataupun ingin mengadakan pertemuan dengan para wali Allah,
atau sewaktu mendapatkan nasehat atau pandangan dari mereka. Adakalanya
dorongan tersebut tanpa ada sesuatu sebab tertentu
Adapun cita-cita untuk-mendapatkan dorongan serupa itu,
memang diharuskan dan digalakkan. Akan tetapi bercita-cita saja tanpa berusaha
untuk meningkatkan dan mendapatkannya, itu satu keputusan yang bodoh, yang
menunjukkan orang yang berharap atau bercita-cita saja tanpa amal, sangat bodoh
sekali, bukanlah Rasul pernah bersabda ;Sesungguhnya Tuhan telah menyediakan
berbagai kelimpahan pada setiap manusia, maka hendaklah kamu menuntutnya.Siapa
yang telah mendapatkan penghargaan dari Allah Rabbul Alamin dengan dorongan
yang Mulia ini, hendaklah ia menyediakan dirinya pada tempat yang sesuai. dan
hendaklah ia tahu bahwa karunia Allah Ta’ala ini, adalah nilai yang paling
tinggi di antara nikmat-nikmat yang lain. Dan tak dapat dinilai derajatnya, dan
tidak dapat dibandingkan dengan apapun. Kesyukuran atas nikmat-Nya, maka
hendaklah melipatgandakan kesyukuran-mu terhadap Allah Ta’ala atas nikmat yang
besar yang telah diberikan kepadamu. Dipilih dan diutamakan diantara
orang-orang yang setaraf dengan rekan-rekan yang berjuang yang telah
mendapatkan nikmat.
Sangat banyak orang-orang Islam yang sadar mencapai usia
delapan puluh tahun atau lebih akan tetapi ia masih belum dikaruniakan dorongan
serupa dan hatinya tidak pernah terketuk oleh rahasia bathinnyaSetiap murid
harus rajin berusaha untuk meperkokoh, memelihara dan menuruti ajakan dorongan
bathin tersebut. Cara untuk memperkokohnya ialah dengan memperbanyak mengingat
Allah Ta’ala (dzikir), merenung dan memperhatikan segala kekuasaan Allah
Ta’ala, dan senantiasa dekat dan berdampingan dengan wali Allah. Cara lain
memeliharanya dengan menjauhkan diri dari berkumpul bersama-sama orang-orang
yang tidak bermanfaat dalam agama, dan menjauhkan segala was-was dan tipu daya
syaitan. Yang terakhir dengan cara menuruti ajakannya ialah berlomba-lomba
kembali kejalan Allah, berlaku benar dalam menghadapi segala perintah-Nya,
tidak bermalas-malasan dan tidak menunda-nunda serta tidak pula
melambat-lambatkannya.
Bahkan apabila sampai pada masanya hendaklah ia menunaikan,
dan apabila terbuka pintu kebajikan hendaklah ia masuk tanpa banyak berpikir,
dan apabila diseru untuk berbakti hendaklah bergegas, dan tidak
tanggung-tanggung, hendaklah ia berhati-hati atas ucapan besok atau lusa, sebab
yang demikian itu adalah hasutan syaitan. Malah hendaklah ia terus-menerus
mengerjakan segala amal baik itu dengan segera, tidak ditangguh-tangguhkan atau
mencari-cari alasan karena tidak ada waktu, atau belum masanya untuk beramal
dan sebagainya.
Berkata Abur Robi’ Rahimahullah, tujukan dirimu ke jalan
Allah dalam keadaan tampan atau cacat diri, jangan sekali-kali menunggu waktu
sehat saja, karena menunggu waktu sehat itu adalah merugikan.
Berkata Ibnu Atha’ dalam kitabnya Al-Hikam
menangguh-nangguhkan sesuatu pekerjaan sehingga ada peluang, menandakan
kebodohan jiwa
Manusia di dunia ini dapat dibagi atas empat kategori.
Kebaikan dan kelurusan dunia bergantung pada kebaikan dan kelurusan sikap
mereka pula.Pertama, seorang ‘abid (ahli ibadah) yang mustaqim1, zahid2, menunjukkan
perhatian sepenuhnya kepada Allah, ‘arif billah3 secara sempuma, dan memiliki
kesadaran yang tajam dalam keberagamaan.Kedua, seorang ulama yang memiliki
pengetahuan mendalam tentang agama, berpegang teguh pada Al-Quran dan Sunnah,
menerapkan serta mengamalkan ilmunya, mengajari dan menasihati manusia,
memerintahkan yang makruf dan mencegah yang mungkar, tidak bersifat plin-plan
dalam urusan agama, dan tidak peduli pada kecaman siapa pun dalam membela
ketetapan-ketetapan Allah Swt.Ketiga, seorang penguasa yang adil, jujur, baik
perilakunya, bersih jiwanya, dan lurus politiknya.
Keempat, seorang hartawan yang saleh, memiliki kekayaan yang
besar dan bersih, membelanjakannya dalam amal-amal kebajikan, menggunakannya
untuk menyantuni kaum lemah dan fakir miskin, dan memenuhi kebutuhan
orang-orang yang dalam keadaan kesulitan. Ia tidak menyimpan dan mengumpulkan
hartanya itu kecuali untuk tujuan-tujuan tersebut serta berbagai kebajikan dan
santunan yang sejalan dengan itu.
Selain itu, di samping kategori manusia di atas, ada pula
orang-orang yang tampaknya serupa dengan mereka dalam keadaan lahiriahnya,
tetapi tidak sesuai dengan hakikat sebenarnya. Maka, di samping si ‘abid yang
mustaqim, ada orang yang berlagak seperti seorang shufi4 yang mencampuradukkan
dan mencurigakan. Di samping ulama yang mengamalkan ilmunya dengan jujur, ada
ulama yang durjana dan munafik. Di samping penguasa yang adil dan bijak, ada
penguasa tiran yang selalu menyimpang dan kebenaran dan tak becus memimpin dan
memerintah. Di samping hartawan yang saleh, ada hartawan zalim, yang
mengumpulkan kekayaan dengan cara yang tidak halal, mengelak dan kewajibannya,
serta membelanjakannya dalam hal-hal yang tidak sepatutnya.
Orang-orang jahat seperti itu menyebabkan kerusakan dan
keguncangan kehidupan dunia, kekacauan ihwal manusia, dan penyimpangan mereka
dan arah yang benar. Namun, semuanya kembali kepada Allah SWT jua. Di
tangan-Nyalah segala kerajaan. Mahasuci Dia, Yang Maha Esa lagi Berkuasa, Raja
Yang Maha Pemberi, Yang mewujudkan segala sebab atas perkenan-Nya. Demi
kehendak-Nya, tiada tuhan kecuali Dia, dan kepada-Nyalah segala sesuatu akan
kembali.
Wa min Allah at taufiq hidayah wal inayah, wa bi hurmati
Habib wa bi hurmati fatihah!!
Keterangan:
1. Mustaqim; lurus dan lapang. Orang yang ber-istiqomah,
yakni senantiasa bersikap lurus sesuai dalam agama.
2. Zahid; orang yang berzuhud, yang meninggalkan
kecenderungan kesenangan duniawi yang bersifat sementara (fana’-semu).
3. ‘arifbillah; orang bijak yang memperoleh makrifat , yakni
pengetahuan mendalam tentang Allah SWT dan alam semesta, atas perkenan Allah
Swt dan sebagai anugerah khusus dari-Nya.
4. Shufi; ahli tasawuf, yakni ilmu yang mencari kebenaran
hakiki dan pendekatan diri kepada Allah Swt dengan berbagai amalan, iabdah, zikir,
renungan dsb.
Sesungguhnya penyakit-penyakit hati dapat diketahui melalui
tanda-tandanya secara lahiriah yang mengisyaratkan tentang kehadirannya.
Tanda-tanda tersebut banyak sekali, yang paling nyata di antaranya ialah sikap
bermalas-malasan dalam mengerjakan berbagai macam ketaatan, merasa berat
berbuat kebajikan, sangat terikat pada syahwat hawa nafsu, sangat cenderung
pada kelezatan dunia, sangat ingin memperluas kesejahteraan di dalamnya serta
lebih lama berdiam di sana, dan lainnya lagi sebagaimana yang dapat disaksikan
dalam kebiasaan orang-orang yang lalai akan akhirat dan berpaling dan Allah
Swt.Bilamana timbul tanda-tanda seperti itu pada agama seseorang, yang
menunjukkan adanya penyakit dalam hatinya, wajiblah ia berusaha sungguh-sungguh
untuk mengobati dan menanganinya dengan saksama. Cara terbaik dan paling
efektif untuk mencapai tujuan tersebut ialah dengan mencari seorang syaikh
(guru, pembimbing, mursyid) yang ‘Alim dan ‘Arif dari kalangan yang bersih dan
sadar kalbunya. Jika tidak berhasil memperolehnya, hendaknya ia memilih seorang
kawan yang saleh yang dapat dimintai pendapatnya dan diajak bermusyawarah dalam
menyelidiki dan mengenali penyakit-penyakit hati serta mengobatinya. Tetapi,
kalau orang seperti ini pun tidak dapat dijumpainya seperti lazimnya pada zaman
ini yang jarang sekali ditemukan orang yang bersedia menolong dalam kebenaran
dan kebaikan, hendaknya ia membaca buku-buku yang ditulis oleh para imam dan
tokoh besar dalam bidang ini, yang sengaja mereka susun tentang
penyakit-penyakit hati dan cara-cara penanganan dan pengobatannya.Di antara
buku-buku yang paling lengkap dan paling bermanfaat mengenai hal itu ialah
KitabIhya’ Ullumuddin karya Imam Al Ghazali, terutama perempat bagiannya
tentang Al-Muhlikat (sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan pembinasa hidup
manusia). Sebab, buku itu memang sengaja ditulis untukmengenali
penyakit-penyakit hati serta cara-cara pengobatannya, tanda-tanda yang
menunjukkan adanya, kuat ataupun lemahnya, dan sebagainya. Namun, buku-buku apa
pun tidak mungkin dapat disejajarkan dengan kedudukan seorang syaikh yang ‘Arif
atau kawan karib yang saleh dalam perjalanan mencapai tujuan. Itu hanyalah
sejauh upaya orang yang tidak berhasil menjumpai mereka atau tidak dimungkinkan
oleh keadaan.Sungguh Allah Swt. akan memberikan pertolongan-Nya sesuai dengan
kadar himmah, ketulusan, serta kebersihan niat seseorang. Dialah sebaik-baik
pelindung dan penolong.
Bahaya Penyakit Hati Dibandingkan Penyakit
TubuhPenyakit-penyakit hati lebih mengganggu dan lebih berbahaya, lebih parah
dan lebih buruk daripada penyakit-penyakit tubuh ditinjau dan berbagai segi dan
arah. Yang paling merugikan dan paling besar bahayanya ialah karena penyakit
hati mendatangkan mudarat atas seseorang dalam agamanya, yaitu modal kebahagia
annya di dunia dan di akhirat; dan bermudarat bagi akhiratnya, yaitu tempat
kediaman yang baqa, kekal, dan abadi.Adapun penyakit tubuh tidaklah
mendatangkan mudarat atas seseorang kecuali di dunianya yang fana yang segera
sima, serta tubuhnya yang menjadi sasaran penyakit akan hancur luluh dalam
waktu yang cepat. Apalagi penyakit tubuh itu sebenarnya amat berfaedah bagi
seseorang dalam agama dan akhiratnya. Sebab, Allah Swt. menyediakan pahala yang
sangat besar bagi si penderita sakit, di samping banyak faedah dan manfaat
lainnya yang segera ataupun pada waktu mendatang, sesuai dengan yang disebutkan
dalam berbagai ayat dan hadis tentang pahala yang disediakan pada penyakit dan
bencana yang menimpa tubuh.Kemudian, karena penyakit hati tidak terjangkau
secara indriawi dan tidak menimbulkan rasa sakit, sulitlah ia diketahui dan
ditemukan. Perhatian padanya amat sedikit dan daya upaya untuk mengobatinya pun
lemah sekali, seperti yang disebutkan oleh Imam Al-Ghazali.rhm, “Penyakit hati
itu laksana penyakit sopak (belang) di wajah seseorang yang tak memiliki
cermin. Jika ia diberi tahu orang lain pun, mungkin ia tak memercayainya. ”
Selain itu, berbagai azab dan hukuman yang diancamkan atas
diri seseorang sebagai akibat penyakit-penyakit hati, kelak di akhirat, adalah
sesuatu yang sulit diterima oleh kaum yang lalai. Atau, mereka melihatnya
sebagai sesuatu yang masih lama sekali datangnya. Adakalanya mereka bahkan
meragukannya. (Semoga Allah Swt. melindungi kita darinya.) Atau, berangan-angan
akan diselamatkan darinya dengan berbagai harapan yang menipu, semata-mata
karena terlalu “berani” kepada Allah. Sehingga, timbul khayalan kosong dengan
mengira pasti akan memperoleh ampunan dan keselamatan meski tanpa berusaha
untuk memperolehnya.
Disebabkan hal-hal seperti itu, banyak penyakit hati yang
terus tersembunyi, bahkan makin kuat mencengkeram, sementara orang-orang yang
lalai selalu teledor untuk mengobatinya sehingga makin lama makin sulit
diobati. Bahkan, adakalanya seseorang dari mereka mengetahui bersemayamnya
sesuatu penyakit di hatinya, tetapi ia tak peduli dan tak menghiraukannya.
Padahal, sekiranya ia mengetahui adanya suatu penyakit di
tubuhnya ataupun seorang lain memberi tahunya tentang hal itu, pasti besar
sekali perhatian yang ditujukan padanya. Ia akan menjadi sangat takut, lalu
bersungguh-sungguh berdaya upaya untuk mengobatinya dengan mengerahkan apa Baja
yang &pat dilakukannya. Sebab, seperti yang telah kami sebutkan, penyakit
hati itu tak terjangkau secara indriawi dan tidak ada rasa sakit yang
menyertainya segera. Juga, hukuman-hukuman yang diancamkan terhadap itu tak
tampak, dan kalaupun ada, ia baru akan terwujud kelak setelah mati dan berada
di akhirat. Sedangkan, orang yang lalai menganggap maut dan segala yang datang
sesudahnya sebagai sesuatu yang amat jauh. Padahal, sekiranya menggunakan
akalnya dan keyakinannya, niscaya ia akan mengetahui bahwa maut adalah suatu
perkara gaib yang paling cepat datangnya, seperti disabdakan oleh Rasulullah
Saw. Dan, sebagaimana juga beliau pemah bersabda, “Surga itu lebih dekat kepada
seorang
di antara kalian daripada tali sandalnya.” Demikian pula
neraka.
Penyakit hati sungguh banyak ragamnya. Yang paling
berbahaya dan paling mudarat ialah kebimbangan dalam agama. (Semoga Allah Swt.
melindungi kita darinya.) Selain itu, lemahnya keimanan kepada Allah,
Rasul-Nya, serta kediaman di akhirat. Juga, sifat riya’ (ingin dipuji oleh
manusia) dalam perbuatan kebajikan. Angkuh terhadap hamba-hamba Allah, bakhil,
iri hati, dengki, curang, cinta akan dunia dan sangat ingin mempertahankan nya,
panjang angan-angan (yang menyebabkan selalu menunda tobat), lupa akan maut,
lalai akan akhirat, mengabaikan persiapan untuknya, serta berbagai macam
penyakit hati lainnya.
Mengingat bahwa hati manusia tertutup dari perasaan
indriawi, sedangkan penyakit-penyakit hati tidak disertai rasa sakit yang dapat
dijangkau dengan alat-alat lahiriah, wajiblah atas manusia berakal, yang
prihatin akan agamanya serta keselamatan akhiratnya, untuk sungguh-sungguh
berusaha menyelidikinya sehingga ia dapat segera menangani dan mengobatinya
sebelum maut datang mendadak dan ia pun menuju Tuhannya, laluberhadapan
dengan-Nya dengan hati yang tidak sehat—yang karena itu ia akan merugi, binasa
bersama dengan orang-orang yang binasa lainnya.
Adakalanya seseorang yang lemah bashirah1-nya memandang
kepada alam ini lalu melihat berbagai hal yang saling berlawanan. Seperti
adanya cahaya dan kegelapan, kebaikan dan kejahatan, perbaikan dan perusakan,
manfaat dan mudarat, dan lain sebagainya. Mungkin ia membisikkan dalam hatinya
atau menggambarkan dalam angan-angannya bahwa seandainya dalam alam ini hanya
ada cahaya, kebaikan, perbaikan, dan manfaat saja, niscaya akan lebih utama dan
lebih baik. Mungkin pula akan timbul protes atau sanggahan dari orang itu
terhadap Allah Swt.karena telah menciptakan sifat-sifat dan keadaan yang
berlawanan dengan itu semua. Ia mengira bahwa ke-wujud2-an hal-hal itu semuanya
tak ada artinya dan penciptaannya pun tidak ada hikmahnya. Itu hanya
menunjukkan kejahilan, kebodohan, dan kelengahan dari orang yang berangan-angan
tersebut. Sebab, Allah Swt. (bagi-Nya segala puji) adalah yang paling bijak di
antara para bijak bestari. Dialah Tuhan yang memiliki ilmu yang mutlak, tak
terbatas, yang melingkungi segala sesuatu dari segenap arahnya. Dialah yang
paling kuasa di antara semua yang kuasa, paling pengasih di antara semua
pengasih. Dalam suatu atsar3 disebutkan bahwa Allah Swt. berfirman:
Sesungguhnya Akulah Allah, tiada tuhan melainkan Aku. Telah
Kuciptakan kebaikan dan kejahatan dan Kuciptakan masing-masing ahlinya bagi
keduanya. Berbahagialah ia yang Kuciptakan untuk menjadi ahli kebaikan dan
Kumunculkan kebaikan dari sisinya. Celakalah ia yang Kuciptakan untuk menjadi
ahli kejahatan dan Kumunculkan kejahatan dari dalam dirinya. Kemudian,
celakalah bagi siapa yang berkata, “mengapa, bagaimana”.(Atsar ini dikutip
dengan maknanya.)
Oleh sebab itu, orang yang mengatakan, “mengapa, bagaimana,
dan seandainya”, pada saat ia melihat hal-hal yang tidak ia ketahui alasannya
dan tidak ia capai makna hikmahnya yang terkandung di dalamnya, dapat
dinyatakan sebagai seorang yang menyanggah kebijaksanaan Allah dan melawan-Nya
dalam tadbir4-Nya. Ketahuilah bahwa kewujudan alam ini yang disertai dengan
adanya berbagai hal di dalamnya, yang saling berlawanan dan berlainan, adalah
kewujudan yang paling sempuma dan paling baik.Tiada sesuatu yang mencerminkan
kebijakan dan mendatangkan kebaikan lebih besar daripadanya apabila dikaitkan
dengan tujuan penciptaan alam dan sasaran yang hendak dicapai dengannya.
Camkanlah hal ini.
Tak dapat dimungkiri bahwa alam ini dalam kewujudannya
berada pada salah satu di antara empat keadaan:
1. Tetap seperti keadaannya sekarang, yakni dengan segala
keberlawanan atau kontradiksi yang maujud kini.
2. Yang ada di dalamnya hanyalah kebaikan murni dan
kemanfaatan semata-mata.
3. Yang ada di dalamnya hanyalah kejahatan dan kemudaratan
semata-mata.
4. Tidak terwujudnya alam ini sama sekali.Hanya empat
keadaan ini saja, tidak ada kelimanya yang dapat dibayangkan dalam pikiran.
Adapun seandainya alam ini dalam keadaan ‘adam (tidak ada sama sekali, non
existence), maka tidak akan dapat disebut sebagai sesuatu, tidak ada hakikat
pada dirinya, dan oleh sebab itu tidak ada artinya sama sekali. Adapun
seandainya yang ada di alam ini hanya kebaikan murni semata-mata, niscaya ia
akan lumpuh disebabkan hikmah-hikmah dan maslahat segala sesuatunya akan
menjadi batal dengan sendirinya. Alam seperti itu hanya berupa setengah
kewujudan, dan dengan demikian takkan tercapai tujuannya yang memang
dikehendaki dan diciptakan untuknya.Adapun seandainya yang ada dalam alam ini
hanyalah kejahatan dan kemudaratan semata-mata, niscaya ia tak ada gunanya dan
tidak perlu ada.
Dari hasil pembahasan di atas dapat diketahui bahwa kondisi
yang dapat disaksikan di alam sekarang adalah yang paling baik, paling sempuma,
paling utama, dan paling patut. Dari uraian kami itu pula dapat dipahami makna
persoalan yang disebutkan oleh Hujjatul-Islam Imam Al-Ghazali.rhm pada bagian
tentang Tauhid dalam kitab Ulum Al-Din yang disimpulkannya dengan ungkapan:
“Tidak mungkin terwujud yang lebih indah (atau lebih
sempurna) daripada yang telah terwujud.”Ucapan Imam Al-Ghazali.rhm itu
mengandung kebenaran, dapat diterima baik, dan tak ada keberatan padanya.
Meskipun demikian, tampaknya beliau (rahimahullah) agak berlebih-lebihan dalam
penganalisisan dan penyimpulan masalah tersebut, sedangkan ruang untuk
bahasannya terlalu sempit, sehingga susunan kalimatnya kurang mampu menjangkau
makna sebenamya yang hendak dituju. Sebagai akibatnya, timbul kemusykilan dan
ketidakjelasan. Adapun yang dimaksud oleh Imam Al-Ghazali memang benar, begitu
pula maksud yang dikehendakinya amat mulia, meski juga pelik. Seperti itu pula
yang dapat dikatakan mengenai masalah-masalah pelik lainnya. Jika seorang ‘alim
yang ‘arif hendak menyampaikan pemahamannya kepada siapa yang bukan ahlinya,
masalah tersebut akan bertambah tidak jelas dan musykil, dan jadilah si ‘alim
sasaran kecaman orang-orang yang tidak termasuk ahli dalam ilmu tersebut atau
kurang mantap pijakan keilmuannya.Ketahuilah pula bahwa dalam kewujudan alam
ini, seperti apa adanya, terkandung berbagai petunjuk mengenai nama-nama Allah
(al-asma’ al-husna) dan sifat-sifat-Nya yang pengetahuan tentang itu semua
tidak akan sempuma kecuali dengan keberadaan alam seperti keadaannya kini.
Cahaya, sebagai contoh, tidak mungkin dikenali dengan selayaknya kecuali dengan
sesuatu yang berlawanan dengannya, yakni kegelapan. Kebaikan, tidak mungkin
dikenali kecuali dengan lawannya, yakni kejahatan. Demikian pula tentang
perbaikan dan perusakan, manfaat dan mudarat, sehat dan sakit, dan segala
sesuatu lainnya yang saling berlawanan dan berlainan.Perhatikan baik-baik
uraian kami dalam pasal ini. Sebab, ia termasuk di antara hikmah yang tinggi
dan hakikat nan lembut, yang untuk menjelaskannya secara sempurna membutuhkan
ucapan yang banyak dan uraian yang panjang. Sungguh Allah mengetahui yang benar
dan menunjuki jalan yang lurus.
Wa min Allah at taufiq hidayah wal inayah, wa bi hurmati
Habib wa bi hurmati fatihah!!
Keterangan:
1. Bashirah ; akal, mata hati, kesadaran batin .
2. Wujud ; adanya sesuatu, sesuatu yang berupa, eksistensi.
3. ‘Atsar ; peninggalan, bekas. Yang dimaksudkan disini,
ucapan dari Nabi Saw, para sahabat atau ulama dan hukama pada masa lalu.
4. Tadbir ; pengaturan.
5. Maujud ; benar-bener ada, sesuatu yang nyata.
Orang-orang yang angkuh ataupun yang lengah (ghaflah)
dipalingkan dari ayat-ayat kekuasaan dan kebesaran Allah, pemahaman
rahasia-Nya, serta penyaksian cahaya-cahaya-Nya sebagaimana dalam
firman-Nya:“Akan Kupalingkan dari ayat-ayat-Ku (tanda-tanda kekuasaanKu) orang
yang menyombongkan diri tanpa alasan haqq (yang dibenarkan) di muka bumi, dan
sekalipun mereka melihat semua ayat itu, mereka tiada juga percaya. Dan,
sekalipun mereka melihat jalan kebenaran, mereka tiada juga menempuhnya.
Tetapi, jika mereka melihat jalan kesesatan, akan mereka tempuh dengan
menganggapnya sebagai jalan kebenaran. Sebabnya adalah karena mereka
mendustakan ayat-ayat Kami dan lalai terhadapnya.” (QS Al-A’raf [7]:
146)Demikianlah Allah Swt. melukiskan orang-orang yang angkuh dengan berbagai
sifat tercela, antara lain kelalaian akan ayat-ayatNya yang membuat mereka
dipalingkan dari kebenaran karena keangkuhan dan kelalaian mereka sendiri.
Keangkuhan dan kelalaian termasuk di antara penyakit yang mengakibatkan
ketidakmampuan memahami ayat-ayat Allah selama si penderita belum bangkit dari
kelalaiannya dan sembuh dari penyakitnya. Bagaimana mungkin orang yang selalu
takabur dapat memahami ayat-ayat Allah, sedangkan kecongkakannya melangit, tak
bersedia merendah bagi kebenaran dan ahlinya, dan karena itu hatinya dikunci
mati oleh Allah sebagaimana dalam firman-Nya:
“Demikianlah Allah mengunci mata hati setiap hati orang yang
takabur lagi menyalahgunakan kekuasaan.” (QS Al-Mu’min [40]:35)Demikian pula
orang yang lalai. Sebab, kelalaiannya telah memalingkan hatinya dari pemahaman
akan ayat-ayat Tuhannya dan menjadikan dirinya membelakangi kebenaran serta
berpaling menjauhkan diri dari Allah Swt. Oleh sebab itu, Allah Swt.
memerintahkan Nabi-Nya agar menjauhi orang yang berpaling seperti dalam
firman-Nya:
“Karena itu, jauhilah orang yang berpaling dari peringatan
Kami dan hanya menginginkan kehidupan duniawi.” (QS Al-Najm [53]: 29)
dan juga firman-Nya:
“Janganlah turuti orang yang hatinya Kami biarkan lalai
mengingat Kami. (QS Al-Kahfi [18]: 28)
Maka, waspadalah dan jauhkanlah dirimu sejauh-jauhnya dari
sifat takabur. Sebab, ia adalah penyakit yang menimpa iblis sehingga
mencegahnya dari menaati Allah ketika diperintahkan untuk bersujud kepada Adam
a.s. Bahkan, ia berani membangkang dan bertakabur. Dan, dengan ketakaburan dan
pembangkangannya itu, patutlah ia terhinakan, terkutuk, dan terusir dari rahmat
Allah serta terjerumus dalam nestapa abadi. (Semoga Allah mengaruniai kita
keselamatan dari segala bala’ dan penyakit.)
Waspadalah pula agar kita tidak berlalai-lalai, lupa akan
Allah, sebutan nama-Nya, dan kehidupan akhirat. Sebab, kelalaian termasuk di
antara penyebab terbesar kehancuran yang mendatangkan berbagai ragam kejahatan
dan penderitaan di dunia dan akhirat.
“Sungguh orang yang tiada mengharapkan pertemuan dengan Kami
tetapi senang dan puas dengan kehidupan di dunia dan tiada memerhatikan
ayat-ayat kami, merekalah yang tempat tinggalnya api neraka disebabkan apa yang
mereka lakukan.” (QS Yunus [10]: 7-8)
“Mereka mengetahui yang lahir saja dari kehidupan dunia dan
tentang akhirat mereka dada peduli.” (QS Al-Rum [30]: 7)
Perhatikan, betapa Allah Swt. meniadakan ilmu pengetahuan
pada diri mereka. Padahal, sesudah itu Dia menyatakan bahwa mereka “memiliki
ilmu tentang kehidupan duniawi”. Kemudian, Dia menutup keterangan-Nya itu
dengan melukiskan mereka sebagai orang-orang yang melalaikan akhirat.
Ketahuilah ini dan camkanlah baik-baik. Hanya Allah yang
memberi taufik, tiada tuhan selain Dia.
Wa min Allah at taufiq hidayah wal inayah, wa bi hurmati
Habib wa bi hurmati fatihah!!
Penyakit-penyakit hati lebih mengganggu dan lebih berbahaya,
lebih parah dan lebih buruk daripada penyakit-penyakit tubuh ditinjau dan
berbagai segi dan arah. Yang paling merugikan dan paling besar bahayanya ialah
karena penyakit hati mendatangkan mudarat atas seseorang dalam agamanya, yaitu
modal kebahagia di dunia dan di akhirat; dan bermudarat bagi akhiratnya, yaitu
tempat kediaman yang baqa, kekal, dan abadi.
Adapun penyakit tubuh tidaklah mendatangkan mudarat atas
seseorang kecuali di dunianya yang fana yang segera sima, serta tubuhnya yang
menjadi sasaran penyakit akan hancur luluh dalam waktu yang cepat. Apalagi
penyakit tubuh itu sebenarnya amat berfaedah bagi seseorang dalam agama dan
akhiratnya. Sebab, Allah Swt. menyediakan pahala yang sangat besar bagi si
penderita sakit, di samping banyak faedah dan manfaat lainnya yang segera
ataupun pada waktu mendatang, sesuai dengan yang disebutkan dalam berbagai ayat
dan hadis tentang pahala yang disediakan pada penyakit dan bencana yang menimpa
tubuh.
Kemudian, karena penyakit hati tidak terjangkau secara
indriawi dan tidak menimbulkan rasa sakit, sulitlah ia diketahui dan ditemukan.
Perhatian padanya amat sedikit dan daya upaya untuk mengobatinya pun lemah
sekali, seperti yang disebutkan oleh Imam Al-Ghazali.rhm, “Penyakit hati itu
laksana penyakit sopak (belang) di wajah seseorang yang tak memiliki cermin.
Jika ia diberi tahu orang lain pun, mungkin ia tak memercayainya. ”
Selain itu, berbagai azab dan hukuman yang diancamkan atas
diri seseorang sebagai akibat penyakit-penyakit hati, kelak di akhirat, adalah
sesuatu yang sulit diterima oleh kaum yang lalai. Atau, mereka melihatnya
sebagai sesuatu yang masih lama sekali datangnya. Adakalanya mereka bahkan
meragukannya. (Semoga Allah Swt. melindungi kita darinya.) Atau, berangan-angan
akan diselamatkan darinya dengan berbagai harapan yang menipu, semata-mata
karena terlalu “berani” kepada Allah. Sehingga, timbul khayalan kosong dengan
mengira pasti akan memperoleh ampunan dan keselamatan meski tanpa berusaha
untuk memperolehnya.
Disebabkan hal-hal seperti itu, banyak penyakit hati yang
terus tersembunyi, bahkan makin kuat mencengkeram, sementara orang-orang yang
lalai selalu teledor untuk mengobatinya sehingga makin lama makin sulit
diobati. Bahkan, adakalanya seseorang dari mereka mengetahui bersemayamnya
sesuatu penyakit di hatinya, tetapi ia tak peduli dan tak menghiraukannya.
Padahal, sekiranya ia mengetahui adanya suatu penyakit di
tubuhnya ataupun seorang lain memberi tahunya tentang hal itu, pasti besar
sekali perhatian yang ditujukan padanya. Ia akan menjadi sangat takut, lalu
bersungguh-sungguh berdaya upaya untuk mengobatinya dengan mengerahkan apa Baja
yang &pat dilakukannya. Sebab, seperti yang telah kami sebutkan, penyakit
hati itu tak terjangkau secara indriawi dan tidak ada rasa sakit yang
menyertainya segera. Juga, hukuman-hukuman yang diancamkan terhadap itu tak
tampak, dan kalaupun ada, ia baru akan terwujud kelak setelah mati dan berada
di akhirat. Sedangkan, orang yang lalai menganggap maut dan segala yang datang
sesudahnya sebagai sesuatu yang amat jauh. Padahal, sekiranya menggunakan
akalnya dan keyakinannya, niscaya ia akan mengetahui bahwa maut adalah suatu
perkara gaib yang paling cepat datangnya, seperti disabdakan oleh Rasulullah
Saw. Dan, sebagaimana juga beliau pemah bersabda, “Surga itu lebih dekat kepada
seorang
di antara kalian daripada tali sandalnya.” Demikian pula
neraka.
Penyakit hati sungguh banyak ragamnya. Yang paling
berbahaya dan paling mudarat ialah kebimbangan dalam agama. (Semoga Allah Swt.
melindungi kita darinya.) Selain itu, lemahnya keimanan kepada Allah,
Rasul-Nya, serta kediaman di akhirat. Juga, sifat riya’ (ingin dipuji oleh
manusia) dalam perbuatan kebajikan. Angkuh terhadap hamba-hamba Allah, bakhil,
iri hati, dengki, curang, cinta akan dunia dan sangat ingin mempertahankan
nya, panjang angan-angan (yang menyebabkan selalu menunda tobat), lupa akan
maut, lalai akan akhirat, mengabaikan persiapan untuknya, serta berbagai macam
penyakit hati lainnya.
Mengingat bahwa hati manusia tertutup dari perasaan
indriawi, sedangkan penyakit-penyakit hati tidak disertai rasa sakit yang dapat
dijangkau dengan alat-alat lahiriah, wajiblah atas manusia berakal, yang
prihatin akan agamanya serta keselamatan akhiratnya, untuk sungguh-sungguh berusaha
menyelidikinya sehingga ia dapat segera menangani dan mengobatinya sebelum maut
datang mendadak dan ia pun menuju Tuhannya, laluberhadapan dengan-Nya dengan
hati yang tidak sehat—yang karena itu ia akan merugi, binasa bersama dengan
orang-orang yang binasa lainnya.
Wa min Allah at taufiq hidayah wal inayah, wa bi hurmati
Habib wa bi hurmati fatihah!!
Sebagian orang yang mencari kebenaran dan ber-suluk1 di
jalan Allah adakalanya melihat banyaknya ragam ilmu, amal, dan jalan (thariqah)
menuju Allah Swt. la menjadi bingung, mana yang harus dipilih dan jalan mana
yang harus ditempuh.Hal ini mungkin menyebabkannya tetap berhenti di tempatnya
karena dilanda kebingungan. Oleh sebab itu, bagi siapa yang mengalami hal atau
keadaan seperti itu atau yang serupa dengan itu, hendaknya ia berpikir dengan
tenang. Apabila ia berada di bawah pengawasan seorang syaikh2 (guru) yang
‘Alim, ‘arif3, dan muhaqqiq4, wajiblah ia memilih dan mengandalkan apa yang
diisyaratkan atau ditentukan oleh syaikhnya itu, baik dalam hal ilmu, amal,
sikap, jalan, kepercayaan, ataupun urusan kehidupan. Demikian itu sudah cukup
baginya.Namun, apabila orang yang bersuluk tidak berada di bawah pengawasan
seorang syaikh sama sekali, atau seorang syaikh yang tidak memiliki sifat-sifat
seperti yang telah kami sebutkan, hendaknya ia mengetahui, pertama-tama, bahwa
di antara berbagai ilmu dan amal, ada yang difardukan atas setiap individu,
tidak bagi setiap orang. Yaitu, seperti ilmu tentang keimanan yang dapat
membentengi akidah, atau ilmu keislaman, termasuk di dalamnya yang bersangkutan
dengan thaharah5, shalat, puasa, dan sebagainya.Hal-hal ini tidak boleh tidak
harus diketahui dan diamalkan, apa pun yang terjadi. Jika telah selesai
mencakup (mengetahui dan mengamalkan) itu semua, hendaknya ia memilih
amal-amal, ilmu-ilmu, cara-cara, dan aturan-aturan yang dianggapnya lebih
sesuai untuk dirinya, lebih berkesan di hatinya, dan lebih dekat pada ridha
Tuhannya. Yang demikian ini tidak akan tersembunyi baginya selama ia
benar-benar tulus dalam tujuan, keinginan, serta pencariannya akan Tuhannya
serta jalan keridhaan-Nya.
Di sini mereka yang bersuluk dan mencari kebenaran akan
menjumpai perbedaan yang amat besar. Sebagian dari mereka cocok baginya ilmu
yang ini dan sebagian lainnya cocok baginya ilmu yang lain pula. Demikian juga
di bidang amalan; ada dari para pencari ini yang cocok dan sesuai baginya
bersikap ‘uzlah6 (menyendiri) agar dapat mencapai hasil, tetapi bagi yang lain
justru tidak cocok baginya kecuali bergaul dengan khalayak. Ada yang tidak sesuai
baginya kecuali mencegah diri dari segala usaha memperoleh kebutuhan hidupnya,
sedangkan yang lain tidak sesuai baginya kecuali terjun dalam usaha tersebut.
Begitu pula dalam persoalan perlunya bepergian jauh dan mengembara untuk
memperoleh yang dicari atau tetap berdiam di tempatnya. Demikian itu berlaku
seterusnya dalam berbagai ihwal dan persoalan yang berbeda-beda.
Apabila orang yang bersuluk itu telah memilih cara yang
menurut pendapatnya paling sesuai, paling cocok, dan paling dekat pada keridhaan
Tuhannya serta mendatangkan anugerah dari-Nya, tidak sepatutnya ia mengecam
atau memusuhi cara yang berlainan dengan caranya sendiri atau jalan (thariqah8)
yang berbeda dengan yang ia tempuh semata-mata karena itu bukan cara dan
jalannya sendiri. Padahal, ia termasuk di antara cara dan jalan yang direstui
dalam syariat dan dipersaksikan kebenarannya dalam Kitab Allah dan Sunnah
Nabi-Nya. Sedangkan, Allah Swt. (bagi-Nya segala puji) telah menetapkan bagi
tiap ilmu, orang-orang ‘alim tertentu yang mengamalkannya ; bagi tiap jalan,
orang-orang yang menempuhnya; dan bagi tiap kedudukan dan cara, orang-orang
yang mendudukinya dan menjalaninya. Tidak akan cocok bagi mereka kecuali itu,
dan tak akan mendapatkan ridhaNya kecuali dengan cara itu. Dalam hal itu terkandung
suatu rahasia, bahkan banyak rahasia, dan banyak pula hikmah yang membutuhkan
renungan yang panjang dan amat sulit dicapai kecuali oleh para ahli yang telah
tercerahkan nuraninya dan tersucikan batinnya, yaitu orang-orang yang memandang
dengan nur Allah Swt., yang mendalam ilmunya, yang di-kasyfkan7 baginya
soal-soal ghaib dari hadirat Allah Swt.
Selain itu, seseorang yang bersuluk hendaknya
memperhitungkan sekiranya ia setiap kali mempelajari dan mengkaji suatu ilmu,
amal, jalan, dan keadaan yang bukan menjadi pegangannya, selalu merasakan
kericuhan dalam hatinya serta kekalutan dalam suluknya itu, sebaiknya ia
menghentikan pengkajiannya itu dan tak usah ia “menyinggahinya” sama sekali.
Tetapi, sekiranya tidak merasakan kericuhan dan kekalutan dalam hal itu, tak
apalah ia mengkajinya juga.
Wa min Allah at taufiq hidayah wal inayah, wa bi hurmati
Habib wa bi hurmati fatihah!!
Keterangan:
1. Suluk ; metode untuk menempuh jalan Illahiyyah,
taqarrub(pendekatan) kepada Sang Khaliq SWT.
2. Syaikh ; menurut bahasa orang yang telah lanjut usianya,
kemudian digunakan untuk menyebut seorang guru pembimbing ruhani, mursyid,yang
telah mumpuni ilmunya dalam agama.
3. Muhaqqiq ; orang yang telah mencapai dan meyakini
kebenaran (al-Haqq) hakiki.
4. ‘Arif ; orang bijak yang memperoleh makrifat , yakni
pengetahuan mendalam tentang Allah SWT dan alam semesta, atas perkenan Allah
Swt dan sebagai anugerah khusus dari-Nya.
5. Thaharah ; Kesucian-kebersihan. Dalam istilah ilmu Fiqih
berarti hal bersuci seperti wudhu, mandi janabat dsb.
6. ‘Uzlah ; menyendiri, mengasingkan diri. Salah satu cara
yang ditempuh dalam usaha mendekatkan diri kepada Allah Swt.
7. Kasy ; penyingkapan hal-hal ghaib secara spiritual oleh
Allah Swt bagi hamba yang dikehendakiNya.
8. Thariqah ; jalan. Kaum para ahli tasawuf memiliki metode
cara-cara tersendiri dalam mencari kebenaran dan pendekatan kepada Allah Swt
sesuai dengan pedoman Al-Qur’an dan Hadist, cara yang dipilih masing-masing
jalan tersebut disebut Thariqah (Tarekat).
Orang yang paling besar ke-rohah-annya di dunia, terlampau
gemar akan kesenangan dan kelezatannya, dan paling giat mengejar kemewahannya
adalah juga (orang) yang paling besar kepayahannya dan kesulitannya, paling
banyak menghadapi ancaman bahaya dan paling sering diliputi kerisauan,
kegundahan, dan kesedihan. Sebagai contohnya, para raja dan hartawan.Adapun
seseorang yang paling sedikit merasakan ke-rohahan serta kelezatan duniawi dan
paling sedikit kegemaran dalam mencari kemewahan adalah juga yang paling ringan
kepayahan dan kesulitan yang dihadapinya, paling sedikit bahaya yang
mengancamnya, dan paling sedikit kerisauan dan kegundahan yang dialaminya.
Contohnya, kaum fakir miskin (yang sabar).
Hal itu disebabkan kelezatan kesenangannya, serta gejolak
syahwatnya pada hakikatnya lebih banyak mengakibatkan kekeruhan hati,
kesusahan, dan kegelisahan. Dan, bahwa orang yang bersaing, berebut, dan
cemburu untuk mendapatkan kelezatan dunia sungguh amat banyak jumlahnya. Itu
pulalah penyebab makin besarya kesulitan, bahaya, serta kegundahan yang dialami
dalam upaya memperolehnya, menikmatinya, menjaganya, serta mengembangkannya.
Dan, makin berlipat gandalah-bersamaan dengan itu-segala kesulitan, bahaya,
kegelisahan, dan kegundahan hati dengan bertambah gencarnya pencarian dan
memuncaknya kegemaran padanya.Sebaliknya, makin lemah keinginan meraih
kelezatan dunia dan makin redup kegemaran memperolehnya, makin sedikit pula
kepayahan, bahaya, kegelisahan, dan kegundahan yang dialami. Itulah sebabnya
Anda melihat para raja dan hartawan adalah orang-orang yang paling lelah
hidupnya, paling banyak mengalami kegundahan dan keresahan, serta paling besar
ancaman yang dihadapinya. Sehingga, mereka bersedia berjudi dengan nyawanya dan
mengorbankan hidupnya demi meraih idaman hatinya dan memenuhi syahwat nafsunya
atau demi menjaga miliknya dan mengembangkannya. Keadaan seperti itu dapat
disaksikan dengan jelas oleh setiap orang yang menggunakan akalnya.Adapun kaum
fakir miskin, mereka itu adalah manusia yang paling sedikit kegundahan dan
kegelisahannya disebabkan oleh sedikitnya tuntutan akan kelezatan dunia dan
kemewahan hidup. Hal itu juga disebabkan oleh lemahnya keinginan mereka untuk
meraih hal-hal tersebut, baik dengan cara sukarela, seperti keadaan para ahli
zuhud, atau karena terpaksa seperti dalam keadaan kaum yang lemah. Yakni,
orang-orang yang tidak membiarkan hati mereka membicarakan kehidupan duniawi
yang berlebih-lebihan, dan karena itu tidak berkeinginan untuk meraihnya atau
bersusah payah mempertahankannya. Sebagai akibatnya, sedikit pula kepayahan dan
kegundahan yang mereka alami.
Ketahuilah bahwa orang yang hanya mencari kehidupan untuk
hidupnya sehari, lebih sedikit kepayahan dan kegundahannya daripada yang
mencari kecukupan untuk hidupnya serninggu. Orang yang mencari kecukupan untuk
seminggu lebih sedikit kegundahannya daripada yang mencari kecukupan untuk
sebulan. Dan, yang mencari kecukupan sebulan lebih sedikit kegundahannya
daripada yang mencari kecukupan untuk setahun. Selanjutnya, orang yang mencari
kecukupan untuk dirinya sendiri lebih sedikit kepayahan dan kegundahannya
daripada yang mencari kecukupan untuk dirinya sendiri ditambah untuk orang
lain. Makin banyak tuntutan hidup, makin besar pula kepayahan dan kesulitan
serta kegundahan dan kegelisahan. Dengan demikian, kesenangan dan ke-rohah-an
duniawi yang diperoleh seorang manusia, semuanya itu berada di atas sebuah
lengan neraca, sedangkan kepayahan, bahaya, serta kegundahan yang dialami dan
dideritanya berada di sebuah lengan neraca lainnya. Persis sama banyaknya,
kendati ada kemungkinan salah satu dan keduanya sedikit lebih banyak atau lebih
ringan. Manusia dalam hal ini memang agak berbeda antara yang satu dan lainnya.
Inilah yang diperoleh oleh kedua kelompok dalam kehidupan
dunia. Adapun di akhirat kelak, masing-masing masih akan mengalami balasannya
sendiri-sendiri. Para pencari kelezatan duniawi dan pengumbar syahwat hawa
nafsu akan mengalami balasan yang berupa perhitungan, hukuman, dan malapetaka.
Demikian pula kaum tak berpunya yang ikhlas, yang-di dunia ini-terhalang atau
menahan diri dari kelezatan duniawi dan syahwat hawa nafsu. Mereka itu akan
menerima balasan berupa kehormatan, kenikmatan, kejayaan, dan kesenangan. Semua
itu telah dikenal dan masyhur dalam berbagai berita, dalam AlQuran dan hadis-hadis
yang amat panjang sebutannya dan sangat sulit dicakup bilangannya.
Oleh sebab itu, jika Anda benar-benar menginginkan
“kerohah-an sejati” dalam kehidupan dunia, Anda dapat memperolehnya dengan
meninggalkan ke-rohah-an1 di dalamnya. Kepada seorang bijak bestari pernah
diajukan pertanyaan, “Untuk siapakah akhirat itu?”
Jawabnya, “Untuk siapa yang mencarinya.”
Ketika ditanyakan pula, “Untuk siapakah dunia itu?”
Jawabnya ialah, “Untuk siapa yang meninggalkannya.”
Ibrahim bin Adham2 rahimahullah, pernah berkata kepada
seorang miskin yang dilihatnya sedang murung, “Jangan risau dan jangan bersedih
hati, kawan. Sekiranya para raja mengetahui ke-rohah-an yang sedang kita alami,
niscaya mereka akan memerangi kita dengan pedang untuk merebutnya.”
Adapun sebab Ibrahim bin Adham.rhm mengeluarkan dirinya dan
kemewahan kehidupannya dan melepaskan kerajaannya yang fana ialah ketika pada
suatu siang ia melongok dari istananya, dilihatnya seorang pengemis sedang
berteduh di bawah dinding istana itu. Sang pengemis mengeluarkan sekerat roti
dan buntelannya, lalu minum air dan selesai itu tidur dengan sangat lelapnya
dalam bayang-bayang istana. Ibrahim bin Adham.rhm sangat terkesan dan kagum
akan keadaan orang itu dan merasa iri atas ke-rohahannya. Ia memerintahkan seorang
pengawal istana agar menghadapkan orang itu apabila ia telah terjaga. Ketika
orang itu datang, Ibrahim berkata kepadanya, “Telah Anda makan roti itu dalam
keadaan lapar, lalu merasa kenyang dengannya?”
“Ya,” jawab orang itu.
“Dan, Anda telah tidur dan puas beristirahat?” “Ya,”
jawabnya lagi.
Mendengar itu, Ibrahim berkata kepada dirinya sendiri, “Jika
nafsu manusia dapat merasakan kepuasan dengan sesuatu seperti ini, apa artinya
kemewahan dunia ini bagiku?!”
Pada malam harinya, Ibrahim bin Adham keluar dan istananya,
meninggalkan kebiasaan hidupnya sebelum itu, dan mencurahkan semua waktunya
menuju Allah Swt. Maka, jadilah ia seorang tokoh sufi yang besar, yang
kedudukannya dekat dengan Sang Pencipta SWT.
Dengan uraian di atas, Anda mengetahui bahwa kesenangan-kesenangan
duniawi, kelezatan-kelezatannya, serta pengumbaran syahwat nafsu di dalamnya,
semua itu mengundang kepayahan, bahaya, kegundahan, kerisauan, dan kesedihan.
Makin besar yang “itu” makin besar pula yang “ini”, dan makin patut seorang manusia
menderita karenanya. Sebaliknya, makin sedikit kelezatan, ke-rohah-an, dan
pengumbaran syahwat nafsu di dalamnya, makin sedikit pula kepayahan, bahaya,
kegundahan dan kerisauannya, makin damai pula hati manusia karenanya. Di
samping itu semua, masih ada lagi risiko dan konsekuensi di akhirat bagi mereka
yang berfoya-foya di dunia. Dan, masih ada pula kemuliaan yang disediakan bagi
siapa yang meninggalkan tuntutan hawa nafsu duniawi dan yangberpaling darinya,
baik secara sukarela maupun karena terpaksa. Demikianlah, semuanya itu terang
dan jelas bagi siapa raja yang memerhatikannya dan bersikap tulus terhadap
dirinya sendiri.
Wa min Allah at taufiq hidayah wal inayah, wa bi hurmati
Habib wa bi hurmati fatihah!!
Keterangan:
1. Ke-rohah-an, disini berarti bersantai bersenang-senang
tak memikirkan akhirat. Adapun ke-rohaha-an sejati ialah kepuasaan hidup yang
dirasakan oleh kaum ‘Arifin..
2. Sayyid Syekh Ibrahim bin ‘Adham (Abu Ishaq) dari Balakh,
asalnya seorang pangeran lalu keluar meninggalkan istananya demi mencari
kepuasaan batin dengan mendekatkan diri kepada Allah Swt.
Dorongan bathin untuk menuju ke jalan Allah, ketahuilah
bahwa jalan yang pertama-tama harus ditempuh adalah mengeluarkan dorongan yang
kuat dihati untuk berminat dan mengajak untuk menuju Allah Ta’ala dan menuju
jalan ke Akherat, serta menomor duakan dunia, dari segala yang biasanya dikejar
manusia kebanyakan.
Seperti mengumpulkan menumpuk kekayaan, bersenang-senang
menurut hawa nafsunya, serta bermegah-megahan, dalam tindakan dan kemewahannya.
Dorongan ini merupakan rahasia-rahasia Tuhan yang
dilimpahkan ke dalam hati hamba-Nya, itulah yang dikatakan inayah Tu han dan
tanda-tanda petunjuk-Nya, sering inayah serupa di limpahkan ke dalam hati
hambanya dikala dalam ketakutan atau menggembirakan atau timbulnya kerinduan
terhadap Zat-Nya, ataupun ingin mengadakan pertemuan dengan para wali Allah,
atau sewaktu mendapatkan nasehat atau pandangan dari mereka. Adakalanya
dorongan tersebut tanpa ada sesuatu sebab tertentu
Adapun cita-cita untuk-mendapatkan dorongan serupa itu,
memang diharuskan dan digalakkan. Akan tetapi bercita-cita saja tanpa berusaha
untuk meningkatkan dan mendapatkannya, itu satu keputusan yang bodoh, yang
menunjukkan orang yang berharap atau bercita-cita saja tanpa amal, sangat bodoh
sekali, bukanlah Rasul pernah bersabda ;Sesungguhnya Tuhan telah menyediakan
berbagai kelimpahan pada setiap manusia, maka hendaklah kamu menuntutnya.Siapa
yang telah mendapatkan penghargaan dari Allah Rabbul Alamin dengan dorongan
yang Mulia ini, hendaklah ia menyediakan dirinya pada tempat yang sesuai. dan
hendaklah ia tahu bahwa karunia Allah Ta’ala ini, adalah nilai yang paling
tinggi di antara nikmat-nikmat yang lain. Dan tak dapat dinilai derajatnya, dan
tidak dapat dibandingkan dengan apapun. Kesyukuran atas nikmat-Nya, maka
hendaklah melipatgandakan kesyukuran-mu terhadap Allah Ta’ala atas nikmat yang
besar yang telah diberikan kepadamu. Dipilih dan diutamakan diantara
orang-orang yang setaraf dengan rekan-rekan yang berjuang yang telah
mendapatkan nikmat.
Sangat banyak orang-orang Islam yang sadar mencapai usia
delapan puluh tahun atau lebih akan tetapi ia masih belum dikaruniakan dorongan
serupa dan hatinya tidak pernah terketuk oleh rahasia bathinnyaSetiap murid
harus rajin berusaha untuk meperkokoh, memelihara dan menuruti ajakan dorongan
bathin tersebut. Cara untuk memperkokohnya ialah dengan memperbanyak mengingat
Allah Ta’ala (dzikir), merenung dan memperhatikan segala kekuasaan Allah
Ta’ala, dan senantiasa dekat dan berdampingan dengan wali Allah. Cara lain
memeliharanya dengan menjauhkan diri dari berkumpul bersama-sama orang-orang
yang tidak bermanfaat dalam agama, dan menjauhkan segala was-was dan tipu daya
syaitan. Yang terakhir dengan cara menuruti ajakannya ialah berlomba-lomba
kembali kejalan Allah, berlaku benar dalam menghadapi segala perintah-Nya,
tidak bermalas-malasan dan tidak menunda-nunda serta tidak pula
melambat-lambatkannya.
Bahkan apabila sampai pada masanya hendaklah ia menunaikan,
dan apabila terbuka pintu kebajikan hendaklah ia masuk tanpa banyak berpikir,
dan apabila diseru untuk berbakti hendaklah bergegas, dan tidak
tanggung-tanggung, hendaklah ia berhati-hati atas ucapan besok atau lusa, sebab
yang demikian itu adalah hasutan syaitan. Malah hendaklah ia terus-menerus
mengerjakan segala amal baik itu dengan segera, tidak ditangguh-tangguhkan atau
mencari-cari alasan karena tidak ada waktu, atau belum masanya untuk beramal
dan sebagainya.
Berkata Abur Robi’ Rahimahullah, tujukan dirimu ke jalan
Allah dalam keadaan tampan atau cacat diri, jangan sekali-kali menunggu waktu
sehat saja, karena menunggu waktu sehat itu adalah merugikan.
Berkata Ibnu Atha’ dalam kitabnya Al-Hikam
menangguh-nangguhkan sesuatu pekerjaan sehingga ada peluang, menandakan
kebodohan jiwa
Ada sebagian orang yang apabila dikatakan kepada mereka
bahwa si fulan-yang termasuk anggota ahlul-bait (keluarga dan keturunan Rasulullah
Saw)-melakukan perbuatan-perbuatan yang menyimpang dari agama atau
mencampurbaurkan antara yang halal dan haram, mereka lantas berkata, “Biarlah,
ia adalah seorang dari ahlul-bait. Rasulullah Saw. pasti akan ber-syafa’at1
untuk anak-cucunya, dan mungkin pula dosa-dosa yang bagai¬manapun tak akan
menjadi mudarat atas mereka.” Sungguh ini adalah ucapan yang amat buruk, yang
menimbulkan mudarat bagi si pembicara sendiri dan bagi orang lain yang
tergolong kaum jahil. Betapa seseorang akan berkata seperti itu, sedangkan
dalam Al-Quran, Kitab Allah yang mulia, terdapat petunjuk bahwa anggota
keluarga Rasulullah Saw. dilipatgandakan bagi mereka pahala amal baiknya,
demikian pula hukuman atas perbuatan buruknya, yaitu dalam firman Allah:Hai
istri-istri Nabi, barang siapa di antara kamu melakukan per¬buatan keji yang
nyata, dilipatgandakan baginya siksaan dua kali lipat dan itu adalah mudah bagi
Allah. Barang siapa di antara kamu tetap taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan
mengerjakan amal saleh, kepadanya Kami beri pahalanya dua kali dan Kami
sediakan baginya rezeki yang melimpah. (QS Al-Ahzab [33] 30-31)
Istri-istri Rasulullah Saw. adalah bagian dari keluarga
rumah tangga beliau. Oleh sebab itu, siapa saja yang mengatakan atau mengira
bahwa meninggalkan perbuatan ketaatan atau mengerja¬kan kemaksiatan tak
mendatangkan mudarat bagi seseorang disebabkan kemuliaan nasabnya atau karena
kebaikan amal serta pekerti leluhumya, orang itu sesungguhnya telah membuat
dusta keji tentang Allah Swt. serta menyalahi ijmaa’ (kesepakatan) seluruh kaum
Muslim.
Namun, ahlul-bait Rasulullah Saw. memang memiliki kemuliaan
khusus, dan beliau pun telah menunjukkan perhatiannya yang amat besar kepada
mereka. Pada masa hidupnya, beliau berulang-¬ulang mengimbau agar umatnya
mencintai dan menyayangi mereka. Dengan itu pula, Allah Swt. telah
memerintahkan dalam firman-Nya:
Katakanlah wahai Muhammad, “Tiada aku minta suatu balasan
melainkan kecintaanmu kepada kerabatku.” (QS Al-Syura [42]: 23)
Oleh karena itu, sudah sepatutnya seluruh kaum Muslim
me¬menuhi hati mereka dengan kecintaan dan kasih sayang kepada ahlul-bait serta
menghormati dan memuliakan mereka, demi kekerabatan mereka dengan Rasulullah
Saw, tanpa berlebih-¬lebihan dan sikap keterlaluan.
Selain itu, siapa saja dari kalangan ahlul-bait yang
perilakunya menyamai atau hampir seperti perilaku salaf (leluhur) mereka yang
saleh dan menempuh jalan mereka yang diridhai, maka ia adalah imam yang
cahayanya dijadikan pelita penerang dan teladannya diikuti, seperti halnya para
leluhur mereka yang berjalan di atas jalan hidayah. Sebab, dan merekalah
imam-imam besar pada masa-¬masa lalu, seperti Amirul Mukminin Imam Ali bin Abi
Thalib, Al-Hasan dan Al-Husain (kedua cucu Rasulullah Saw). Juga, seperti
Ja`far bin Abi Thalib (Al-Thayyar)2, Hamzah (Sayyid Al-Syuhada)3, demikian pula
Abdullah bin ‘Abbas dan ayahandanya, Al- Abbas(paman Nabi Saw), Imam Ali Zain
Al-Abidin bin Husain4, Imam Muhammad Al-Baqir5 dan putranya, Imam Ja’far
Al-Shadiq6 ‘alaihimus-salam, dan imam-imam lainnya dari ahlul-bait yang
disucikan, dari yang terdahulu hingga keturunan mereka yang datang kemudian.
Adapun mereka yang berasal dari keluarga rumah tangga
ahlul-bait ini, tetapi tidak menempuh jalan leluhur mereka yang disucikan, lalu
mencampuradukkan antara yang baik dan buruk disebabkan kejahilannya,
seyogianyalah mereka pun tetap dihormati sewajarnya, semata-mata disebabkan
kekerabatan mereka dengan Nabi Saw. Namun, siapa saja yang memiliki ke¬ahlian
atau kedudukan untuk memberi nasihat, hendaknya tidak segan-segan menasihati
mereka dan mendesak agar mereka kembali menempuh jalan hidup para pendahulu
mereka yang baik-baik, yang berilmu, beramal saleh, berakhlak mulia, dan
ber¬perilaku luhur. Juga, menegaskan bahwa mereka sebenarnya lebih utama dan
lebih patut berbuat seperti itu, dan bahwa ke¬muliaan nasab saja tak akan
bermanfaat dan tak akan meninggikan derajat, selama mengabaikan ketakwaan,
mencurahkan sepenuh perhatian pada dunia, meninggalkan amalan-amalan ketaatan,
serta menistai diri dengan berbagai maksiat. Para ahli syair pun, apalagi para
imam dan ulama, sering kali menandaskan makna ini seperti yang diucapkan
seorang dari mereka:
Demi Allah, manusia hanyalah “putra” agamanya,
karenanya jangan meninggalkan takwa demi mengandalkan nasab.
Islam memuliakan Salman si orang Parsi,
sementara kemusyrikan menghempas Abu Lahab sang bangsawan.
Al-Mutanabbi berkata:
‘Apabila jiwa sang bangsawan menyimpang dari leluhurnya,
dada manfaat diperoleh walau tinggi kedudukannya.”
Seorang penyair lain mengatakan:
Tiada berguna asal usul dari Hasyim, Bila jiwa dan
semangatnya dari Bahilah.7
Pembicaraan tentang putra-putra para shalihin (di luar
kalang¬an ahlul-bait) sama seperti pembicaraan tentang ahlui-bait juga.
Maksudnya, siapa saja dari mereka yang menempuh jalan leluhur¬nya, maka ia pun
seorang saleh seperti mereka, patut dimuliakan dan diharapkan barakah8-nya.
Dan, siapa saja dari mereka yang menempuh jalan kejahilan dan kelengahan,
hendaknya dinasihati dan dibimbing ke jalan kebenaran, juga dihormati sewajarnya,
semata-mata demi mengingat para salafnya yang shalihin. Betapa tidak, sedangkan
Allah Swt. telah berfirman tentang kedua orang anak kecil dan kebun peninggalan
ayah mereka:
“Adapun tembok itu adalah kepunyaan dua anak muda yatim
piatu di dalam kota; di bawah tembok itu ada harta kepunyaan keduanya dan ayah
mereka seorang yang saleh. Maka, Tuhanmu ingin supaya mereka mencapai usia
dewasa dan mengeluarkan hartanya sebagai rahmat dari Tuhanmu.” (QS Al-Kahfi
[18]:82)
Menurut sebagian ahli tafsir, ayah yang dimaksud dalam ayat
ini ialah ayah mereka ketujuh dari silsilah ibu mereka. Kedua anak tersebut
(berkat kesalehan ayah mereka) telah memperoleh penjagaan Allah dalam urusan
duniawi mereka, apalagi-tentu¬nya-dalam urusan akhiramya.
Ketahuilah dan pahamilah. Letakkan segala sesuatu di
tempatnya yang tepat dan berikan hak setiap orang kepadanya. Mintalah
pertolongan Allah selalu, Anda akan beroleh kebaha¬giaan dan bimbingan.
Sungguh, segala-galanya adalah milik Allah semata.
sumber :https://jiwa2kegelapan.wordpress.com
Komentar
Posting Komentar