MAJELIS 8-3 RISALAH MA'RIFAT 2 : TAUHID DAN MA'RIFATULLAH
RISALAH MA'RIFAT 2 : TAUHID DAN MA'RIFATULLAH
Menurut Syeikh Ibnu
Athaillah As-Sakandari, siapapun yang merenung secara
mendalam akan
menyadari bahwa semua makhluk sebenarnya menauhidkan Allah SWT lewat tarikan
nafas yang halus. Jika tidak, pasti mereka akan mendapat siksa. Pada setiap
zarah, mulai dari ukuran sub-atomis (kuantum) sampai atomis, yang terdapat di
alam semesta terdapat rahasia nama-nama Allah. Dengan rahasia tersebut,
semuanya memahami dan mengakui keesaan Allah.
Allah SWT telah
berfirman,
Hanya kepada
Allah-lah sujud (patuh) segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan
kemauan sendiri atau pun terpaksa (dan sujud pula) bayang-bayangnya di waktu
pagi dan petang hari (QS 13:15).
Jadi, semua makhluk
mentauhidkan Allah dalam semua kedudukan sesuai dengan rububiyah Tuhan serta
sesuai dengan bentuk-bentuk ubudiyah yang telah ditentukan dalam
mengaktualisasikan tauhid mereka. Lebih lanjut Syeikh
mengatakan bahwa
sebagian ahli makrifat berpendapat bahwa orang yang bertasbih sebenarnya
bertasbih dengan rahasia kedalaman hakikat kesucian pikirannya dalam wilayah
keajaiban alam malakut dan kelembutan alam jabarut.
Sementara sang salik,
bertasbih dengan dzikirnya dalam lautan qolbu. Sang murid bertasbih dengan
qolbunya dalam lautan pikiran. Sang Pecinta bertasbih dengan ruhnya dalam
lautan kerinduan. Sang Arif bertasbih dengan sirr-nya dalam lautan alam gaib.
Dan orang shiddiq bertasbih dengan kedalaman sirr-nya dalam rahasia cahaya yang
suci yang beredar di antara berbagai makna Asmaasma dan Sifat-sifat-Nya
disertai dengan keteguhan di dalam silih bergantinya waktu. Dan dia yang hamba
Allah bertasbih dalam lautan pemurnian dengan
kerahasian
sirr-al-Asrar dengan memandang-Nya, dalam kebaqaan-Nya.
Syeikh Muhammad Nafis
al-Banjari membagi tauhid dalam konteks makrifatullah menjadi empat samudera
makrifat, berikut ini uraian untuk setiap tahapan ma’rifat tauhid dengan
intepretasi pribadi, iaitu :
· Tauhid Af’al
sebagai pengesaan terhadap Allah SWT dari segala macam perbuatan. Maka hanya
dengan keyakinan dan penyaksian saja segala sesuatu yang terjadi di alam adalah
berasal dari Allah SWT.
· Tauhid al-Asma
adalah pengesaan Allah SWT atas segala nama. Ketika yang mewujud dinamai, maka
semua penamaan pada dasarnya dikembalikan kepada Allah SWT. Allah sebagai Isim
A’dham yang Mahaagung adalah asal dari semua nama-nama baik yang khayal maupun
bukan. Karena dengan nama yang Maha Agung “Allah” inilah, Allah memperkenalkan
dirinya.
· Tauhid As Sifat,
adalah pengesaan Allah dari segala sifat. Dalam pengertian ini maka manusia
dapat berada dalam maqam Tauhid as-Sifat dengan memandang dan memusyadahkan
dengan mata hati dan dengan keyakinan bahwa segala sifat yang dapat melekat
pada Dzat Allah, seperti Qudrah (Kuasa), Iradah (Kehendak), ‘Ilm (Mengetahui),
Hayah (Hidup), Sama (mendengar), Basar (Melihat), dan Kalam (Berkata-kata)
adalah benar sifat-sifat Allah. Sebab, hanya Allah lah yang mempunyai
sifat-sifat tersebut. Segala sifat yang dilekatkan kepada makhluk harus
dipahami secara metaforis, dan bukan dalam konteks sesungguhnya sebagai suatu
pinjaman.
· Tauhid az-Dzat
berarti mengesakan Allah pada Dzat. Maqam Tauhid Az- Dzat menurut Syekh al-Banjari
adalah maqam tertinggi yang, karenanya, menjadi terminal terakhir dari
memandangan dan musyahadah kaum arifin. Dalam konteks demikian, maka cara
mengesakan Allah pada Dzat adalah dengan memandang dengan matakepala dan
matahati bahwasanya tiada yang maujud di alam wujud ini melainkan Allah SWT
Semata.
Tauhid Af’al pada
pengertian Syeikh al-Banjari akan banyak berbicara tentang kehendak Allah SWT
yang maujud sebagai ikhtiar dan sunnatullah manusia yaitu takdir. Apakah
kemudian takdir yang dialami seseorang disebut baik atau buruk, maka itulah
kehendak Allah sesungguhnya yang terealisasikan kepada semua makhluk yang
memiliki kehendak bebas untuk memilah dan memilih, dengan pengetahuan terhadap
aturan dan ketentuan yang sudah melekat padanya sebagai makhluk sintesis yang
ditempatkan dalam suatu kontinuum ruang-waktu relatif.
Tauhid Af’al adalah
Samudera Pengenalan, di samudera inilah salik sebagai pencari wasiat Allah
harus mendekat ke pintu ampunan Allah untuk bertobat dan menyucikan dirinya,
menyibakkan pagar-pagar awal dirinya dengan ketaatan kepada-Nya dan
meninggalkan kemaksiatan pada-Nya, mendekat kepada-Nya untuk menauhidkan-Nya,
beramal untuk-Nya agar memperoleh ridha-Nya. Kalau saya proyeksikan ke dalam
sistem qolbu yang diulas sebelumnya mempunyai tujuh karakteristik dominan, maka
di Samudera Af’al inilah seorang salik harus berjuang untuk me-metamorfosis-kan
qolbunya dari dominasi nafs ammarah, menuju lawammah, menuju mulhammah, dan
mencapai ketenangan dengan nafs muthmainnah.
Dalam Samudera Asma-asma,
maka hijab-hijab tersingkap dengan masingmasing derajat dan keadaannya. Ia yang
menyingkapkan, sedikit demi sedikit akan semakin melathifahkan dirinya ke dalam
kelathifahan Yang Maha Qudus memasuki medan ruh ilahiah-nya (dominasi qolbu
oleh ruh yang mengenal Tuhan). Samudera Asma-asma adalah Samudera Munajat dan
Permohonan, difirmankan oleh Allah SWT bahwa “Dan bagi Allah itu beberapa Nama
yang aik (al-Asma al-Husna) maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut
nama-nama itu (QS 7:180).” Di samudera inilah salik akan diuji dengan khauf dan
raja, keikhlasan, keridhaan, kefakiran, kezuhudan, dan keadaan-keadaan ruhaniah
lainnya.
Di tepian Samudera
Asma-asma adalah lautan kerinduan yang berkilauan karena pendar-pendar cahaya
rahmat dan kasih sayang Allah. Di Lautan Kerinduan atau Lautan Kasih Sayang
atau Lautan Cinta Ilahi, sinar kemilau cahaya Sang Kekasih menciptakan
riak-riak gelombang yang menghalus dengan cepat, menciptakan
kerinduan-kerinduan ke dalam rahasia terdalam. Lautan Kerinduan adalah pintu
memasuki hamparan Samudera Kerahasiaan.
Tauhid as-Sifat
adalah Samudera Kerahasiaan atau Samudera Peniadaan karena di samudera inilah
semua makhluk diharuskan untuk menafikan semua atribut kediriannya sebagai
makhluk, semua hasrat dan keinginan, kerinduan yang tersisa dan apa pun yang
melekat pada makhluk tak lebih dari suatu anugerah dan hidayah kasih sayang-Nya
semata, maka apa yang tersisa dari Lautan Kerinduan atau Lautan
Cinta Ilahi adalah
penafian diri. Apa yang melekat pada semua makhluk adalah manifestasi dari
rahmat dan kasih sayang-Nya yang dilimpahkan, sebagai piranti ilahiah yang
dipinjamkan dan akan dikembalikan kepada-Nya. Siapa yang kemudian
menyalahgunakan semua pinjaman Allah ini, maka ia harus mempertanggungjawabkan
dihadapan-Nya. Qolbu yang didominasi merahasiaan ilahiah didominasi kerahasiaan
sirr dengan suluh cahaya kemurnian yang menyemburat dari kemilau yang
membutakan dari samudera yang paling rahasia sirr al–asrar yakni Samudera
Pemurnian dari Tauhid Az-Dzat.
Di tingkatan Tauhid
az-Dzat segala sesuatu tiada selain Dia, inilah Samudera
Penghambaan atau
Samudera Pemurnian/Tanpa Warna sebagai tingkatan
ruhaniah tertinggi
dengan totalitas tanpa sambungan. Suatu tingkatan tanpa
nama, karena semua
sifat, semua nama, dan semua af’al sudah tidak ada.
Bahkan dalam tingkat
kehambaan ini, semua deskripsi tentang ketauhidan hanya
dapat dilakukan oleh
Allah Yang Mandiri, “Mengenal Allah dengan Allah”. Inilah
maqam Nabi Muhammad
SAW, maqam tanpa tapal batas, maqam Kebingungankebingunan Ilahiah.
Maqam dimana semua
yang baru termusnahkan dalam kedekatan yang hakiki sebagai kedekatan bukan
dalam pengertian ruang dan waktu, tempat dan posisi. Di maqam ini pula semua
kebingungan, semua peniadaan, termurnikan kembali sebagai yang menyaksikan
dengan pra eksistensinya. Ketika salik termurnikan di Samudera Penghambaan,
maka ia terbaqakan didalam-Nya. Eksistensinya adalah eksistensi sebagai hamba
Allah semata. Maka, di Samudera Penghambaan ini menangislah semua hati yang
terdominasi rahasia yang paling rahasia (sirr al-asrar),
Aku menangis bukan
karena cintaku pada-Mu dan cinta-Mu padaku,
atau kerinduan yang
menggelegak dan bergejolak yang tak mampu
kutanggung dan
ungkapkan.
Tapi, aku menangis
karena aku tak akan pernah mampu merengkuh-Mu.
Engkau sudah nyatakan
Diri-Mu Sendiri bahwa “semua makhluk akan
musnah kalau Engkau
tampakkan wajah-Mu.”
Engkau katakan juga,
“Tidak ada yang serupa dengan-Mu.”
Lantas, bagaimanakah
aku tanpa-Mu,
Padahal sudah
kuhancurleburkan diriku karena-Mu.
Aku menangis karena
aku tak kan pernah bisa menyatu dengan-Mu.
Sebab,
Diri-Mu hanya
tersingkap oleh diriMu Sendiri
Dia-Mu hanya
tersingkap oleh DiaMu Sendiri
Engkau-Mu hanya
tersingkap oleh EngkauMu Sendiri,
Sebab,
Engkau Yang Mandiri
adalah Engkau Yang Sendiri
Engkau Yang Sendiri
adalah Engkau Yang Tak Perlu Kekasih
Engkau Yang Esa
adalah Engkau Yang Esa
Engkau Yang Satu
adalah Engkau Yang Satu.
Maka dalam ketenangan
kemilau membutakan Samudera PemurnianMu,
biarkan aku
memandangMu dengan cintaMu,
menjadi sekedar
hambaMu dengan ridhaMu,
seperti Muhammad yang
menjadi Abdullah KekasihMu.
Penghuraian tauhid
yang dilakukan oleh Syekh al-Banjari memang didasarkan
pada langkah-langkah
penempuhan suluk yang lebih sistematis. Oleh karena,
pentauhidan
sebenarnya adalah rahasia dan ruh dari makrifat, maka dalam
setiap tingkatan yang
diuraikan menjadi Tauhid Af’al, Asma-asma, Sifat-sifat dan
Dzat, sang salik
diharapkan dapat merasakan dan menyaksikan tauhid yang
lebih formal maupun
khusus, yang diperoleh dari melayari keempat Samudera
Tauhid tersebut.
Hasil akhirnya , kalau tidak ada penyimpangan yang sangat
mendasar, sebenarnya
serupa dengan pengalaman makrifat para sufi lainnya
yakni pengertian
bahwa ujung dari makrifat semata-mata adalah mentauhidkan
Allah sebagai Yang
Maha Esa dengan penyaksian dan keimanan yang lebih
mantap sebagai hamba
Allah.
Komentar
Posting Komentar