SIFAT QUDRAT DAN IRADAT TUHAN ATAS KEHIDUPAN MANUSIA
SIFAT QUDRAT DAN IRADAT TUHAN ATAS KEHIDUPAN MANUSIA
أمن
هو قانت ءاناء اليل ساجدا وقائما يحذر الآخرة ويرجوا رحمة ربه قل هل يستوي
الذين يعلمون و الذين لا يعلمون إنما يتذكر أولوا الألباب (الزمر: 9)
Am-man
huwa qaanitun aanaa al-laili saajidaw wa qaa-imay-yahdzarul aakhirata
wa yarjuu rahmata rab-bih. qul hal yas-tawil ladziina ya’lamuuna wal
ladziina laa ya’lamuuna. in-namaa yatadzak-karu ulul albaab => Hai
orang musyrik, apakah kamu yang lebih beruntung atau orang yang dengan
patuh setia beribadah di malam hari; sujud dan berdiri, takut kepada
siksaan akhirat, dan mengharapkan rahmat Tuhannya?. Katakanlah! “Adakah
sama orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui?”. Hanya
orang-orang yang berakal sajalah yang dapat berfikir (QS. az-Zumar: 9).
Yang dimaksudkan Tuhan dengan berakal
pada ayat di atas adalah mereka yang akalnya diterangi Tuhan lewat
perjuangan sujud dan berdiri di malam hari karena mengharap rahmat
dari-Nya tanpa mengenal lelah. Jadi datangnya rahmat yang berupa cahaya
adalah merupakan pertolongan Tuhan atas perjuangan manusia di jalan
petunjuk-Nya. Selain sujud dan berdiri di malam hari, mereka juga
sempurna di dalam mengemban amanah Tuhannya, yaitu (1) taqwa hanya
kepada Allah dengan penuh kesabaran di dalam menjalankan nilai-nilai
ketaqwaannya; (2) menyembah Allah dengan penuh ketulusan hati, yaitu
menyembah Allah hanya semata-mata sebagai rasa syukur atas
diciptakan-Nya kita sebagai manusia (Lillah Billah) dan tiadanya
kepentingan pribadi di dalam menyembah Allah, seperti penyembahan kita
kepada Allah karena takut neraka dan menginginkan surga; (3) berpasrah
diri secara total hanya kepada Allah, menyembah Allah sebagai
interpretasi (pengejawantahan) atas ketulusan hati beragama untuk
Allah; (4) menjauhkan diri dari segala perbuatan syirik; (5) menjauhkan
diri dari menyembah syetan dan selalu kembali kepada Allah (Fafir-ruu ilal-laah). (Baca: QS. Az-Zumar: 10-17).
Firman Allah:
لقد خلقنا الإنسان في أحسن تقويم. ثم رددناه أسفل سافلين (التين: 4-5)
Laqad khalaqnal insaana fii ahsani taqwiim. Tsum-ma radadnaahu asfala saafiliin => Sesungguhnya
manusia itu telah Kami ciptakan dalam bentuk yang sebaik-baiknya.
Kemudian Kami jerumuskan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (QS.
at-Tiin: 4-5).
Pada surat at-Tiin, ayat 4 dan 5 di atas, Tuhan menjelaskan kedudukan manusia yang amat tinggi. Yang dimaksud Tuhan dengan manusia pada ayat di atas adalah rohnya--bukan jasadnya, dan kemudian roh tadi ditempatkan-Nya di tempat yang paling hina yaitu raga (jasad).
Pada QS. as-Sajdah ayat ke 8, Tuhan menjelaskan tentang masalah cairan
pelik/mahin/air mani. Dimana kejadian jasad itu dibentuk-Nya dari air
mani/sperma dan ini menunjukkan betapa keadaan jasad manusia amatlah
lemah dan bodohnya.
Di Surat as-Sajdah ayat ke sembilan (9) Tuhan berfirman:
ثم سواه و نفخ فيه من روحه و جعل لكم السمع و الأبصار والأفئدة قليلا ما تشكرون ( السجدة: 9 )
Tsum-ma saw-waahu wa nafakha fiihi mir ruuhihii wa ja’ala lakumus sam’a wal abshaara wal af-idah qaliilam maa tasykuruun => Lalu
disempurnakan-Nya kejadiannya, ditiupkan-Nya roh ciptaan-Nya kedalam
tubuhnya, dan diperlengkapi-Nya kamu dengan pendengaran, penglihatan dan
pemikiran. Namun sedikit sekali kamu yang bersyukur (QS. as-Sajdah: 9).
Dari
ayat di atas dapat difahami bahwa Tuhan melengkapi manusia dengan
adanya kemampuan berfikir dan juga dilengkapi-Nya dengan indra setelah
Tuhan memberinya roh. Jadi rohlah yang terlebih dahulu yang ditiupkan
Tuhan kedalam jasad manusia baru kemudian jasad tersebut dilengkapi
Tuhan dengan indra dan akal fikiran.
Dari sini bisa diketahui bahwa cara hidup yang semestinya dianut (dilakukan)
oleh semua orang adalah dengan cara selalu mendegarkan bisikan
roh/atma/jiwanya, dan bukan mengikuti kemauan panca indranya karena
kemauan dan ajakan panca indra tersebut merupakan bentuk interpretasi
dari kemauan jasad. Sedangkan kemauan jasad itu sendiri senantiasa
mengajak manusia ingkar kepada Allah. Oleh karena itu hendaklah kita
mengenali jiwa kita terlebih dahulu; adakah jiwa kita dibimbing-Nya
ataukah tidak, karena Allah hanya melindungi dan menuntun orang-orang
yang sempurna saja. Sedangkan orang yang fasiq (sudah mengetahui jalan Allah dengan benar namun tidak mau melewatinya karena takut dirugikan)
sama sekali tidak mendapatkan perlindungan dan tuntunan apapun
dari-Nya. Dilindungi-Nya ataukah dibiarkan-Nya kita oleh Tuhan, itupun
tergantung dari cara kita mengabdikan diri kepada-Nya.
Firman Allah:
إنما المؤمنون الذين أمنوا بالله و رسوله ثم لم يرتابوا و جاهدوا بأموالهم و أنفسهم في سبيل الله أولئك هم الصادقون ( الحجرات: 15 )
Inin-namal
mu’minuunal ladziina aamanuu bil-laahi wa rasuulihii tsum-ma lam
yartaabuu wa jaahaduu bi-amwaalihim wa anfusihim fii sabiilil-laahi
ulaa-ika humus shaadiquun => Sesungguhnya
mereka yang beriman adalah mereka yang beriman kepada Allah dan
rasul-Nya dan mereka tiada lagi meragukan Allah dan rasul-Nya. Lalu
mereka bermujahadah (berjuang) dengan seluruh harta dan jiwanya di jalan
Allah. Itulah orang-orang yang berjalan di jalan yang benar (QS.
al-Hujuraat: 15).
Tidak
dapat dikatakan beriman kepada Allah dan rasul-Nya selagi manusia di
dunia ini atau didalam menjalankan hari-harinya masih hidup menurut
keyaqinan dan fikirannya sendiri. Orang yang benar-benar beriman akan
menjadikan tuntunan Allah dan rasul-Nya sebagai satu-satunya pedoman
hidupnya (way of life).
Kembali kepada permasalahan sifat takdir (Qudrah dan Iradah)
Tuhan, sesungguhnya yang datang dari Allah adalah selalu
berwajah/bernafaskan sama, yaitu kebaikan. Akan tetapi kebaikan Allah di
dalam takdir itu hanya bisa dikenali, difahami dan dirasakan oleh
mereka-mereka yang dibimbing Tuhan saja. Sedangkan kehidupan orang-orang
yang mengingkari-Nya akan dilepaskan Allah tanpa tuntunan-Nya bahkan
Tuhanpun tak akan pernah menghiraukannya kapan dan dimanapun mereka mati
sehingga mereka tidak akan pernah mampu mengenal dan merasakan kebaikan
Allah dibalik takdir-Nya, yang pada akhirnya mereka akan selalu
mengeluh terhadap kekuasaan dan kehendak (takdir) Tuhan yang
datang kepadanya. Jangankan bersyukur, menerimapun tak mungkin terjadi.
Orang yang hidup dengan cara begini, semakin tua akan semakin menderita
dan akan selalu menyusahkan anak turunnya.
Allah
hanya akan menyediakan segala kebutuhan orang-orang yang beriman.
Sedangkan bagi mereka yang mengingkari-Nya, Allah akan melepaskannya.
Oleh karenanya mereka harus bisa mencari segala kebutuhan duniawinya
sendiri. Allah tidak lagi sudi menolongnya dan jika mereka meminta
pertolongan kepada Tuhan, maka segala urusan mereka akan diserahkan
oleh-Nya kepada iblis dan setan sehingga segala sesuatu yang mereka
dapatkan dibalik keinginan dan permintaannya itu adalah berasal dari
Allah lewat tangan iblis. Jadi penolong mereka adalah iblis--bukan lagi
Tuhan. Jika hidup dan kehidupan mereka sudah dibimbing iblis, lalu
kemanakah mereka berlabuh pada akhirnya kalau bukan ke murka Tuhan,
sehingga segala perjuangan dan ibadahnya akan sia-sia karena akan
berakhir pada jurang kehancuran di bawah naungan iblis.
Sifat
takdir hanya berlaku bagi orang-orang yang beriman yang berjuang dengan
seluruh jiwa-raganya. Sesungguhnya takdir itu akan menggiring manusia
yang menerimanya menuju ke muara kebaikan, apapun bentuknya takdir
hendaklah senantiasa disyukuri, baik berupa qadar (penderitaan dunia) maupun berupa qadha’ (kebaikan dunia) karena tiadanya syukur menandakan kalau kita benar-benar kufur di mata Allah.
Perjuangan itu adalah modal utama buat baqa’ dengan Allah, dan yang namanya perjuangan, pastilah berisi kepahitan (qadar)
belaka. Berbagai penderitaan lahir dan bathin akan menguji manusia yang
sungguh-sungguh berjalan di jalan Allah. Oleh karenanya maka mustahil
jalan Allah itu dilewati oleh orang-orang yang lemah hati, yaitu
orang-orang yang dikendalikan oleh duniawi. Bagi para tentara Allah (mujaahidil-laah)
kemulyaan dan kebahagiaan pastilah akan mendatanginya dunia-akhirat,
walau mereka hanyalah orang-orang yang berkedudukan rendah di mata
sesamanya.* diambil dari buku MGMT2
sumber : salametdjati
Komentar
Posting Komentar