Inti Sari Wejangan Pangersa Abah, Sya'ban 1393 H. jangan menghina, nyawad, atau mencela..

Inti Sari Wejangan Pangersa Abah, Sya'ban 1393 H.
 jangan menghina, nyawad, atau mencela..
Allah SWT berfirman:
"yà ayyuhhal ladzìna àmanù là yaskhor qoumum ming qoumin 'asà ay yakùnù khoirom minhhum wa là nisàum min nisà-in 'asà ay yakunna khoirom minhhunna wa là talmizù angfusakum wa là
tanà bazù bil alqòbi bi-sal ìsmul fusùqu ba'dal ìmàni wa mal lam yatub fa-ùla-ika hhumuzhòlimùn".
"hai manusia yang beriman, jangan mau menghina orang lain, karena bisa jadi yang dihina lebih bagus daripada kamu(apakah itu perempuan atau laki-laki). jangan mau mencaci dengan sesama, jangan memanggil dengan panggilan yang buruk. karena nama yang paling buruk adalah fasik setelah iman. barangsiapa yang tidak mau bertaubat, maka dialah manusia yang aniaya"
(Al-Hujarat 11).
jangan mau menghina atau mencaci, sebab siapa tahu yang dibenci lebih bagus daripada yang membenci. Siap tahu yang dihina lebih bagus daripada yang dihina. Untuk membendung itu, buanglah perasaan: lebih bagus kita daripada orang lain, merasa cukup menjadi ahli ibadah, menyangka orang lain salah terus, dan selalu memperlihatkan kelebihan diri. Untuk menahannya hanya dengan bersih hati dan ikhlas rasa.
ingat, jangan melakukan ibadah dibarengi dengan takabbur, ria, ujub, dan merendahkan orang lain, karena ibadahnya bisa tidak jadi ibadah.
jika dihina, bersabarlah. Dengan kesabaran, siapa tahu yang menghina bisa sadar. Tapi jika dihina orang langsung marah, maka tidak akan nada hentinya.
jika dihina maka diamlah. Jika direndahkan, maka janganlah berbicara sedikitpun. Kalau bukan kita sendiri, siapa lagi yang akan merasakan sabar dan tawakkal.
perlihatkan sabar dan biarkanlah orang lain menghina dan meledek kita.
hasil dari sabar adalah repeh rapih maslahat lahir dan bathin
thorekat ini jangan disia-siakan sebab merupakan tugas dari alloh dan perintah dari nabi. Jika disia-siakan, tentu tidak akan ada hasilnya.
nabi saw bersabda:
"allòhhu robbuna wa robbukum lanà amalunà wa lakum amalukum là hujjata bainanà wa bainakum".
alloh tuhan kita semua. Amal kita untuk kita, amal orang lain untuk dirinya, jangan ada pertengkaran antara kita semua.
ingat, jangan ada percekcokan, karena itu adalah wujud buruknya amal dan bisa merusak amal.
mari kita mencontoh nabi, di saat berdakwah di thoif, beliau dilempari hingga berdarah, kemudian ditawari oleh malaikat supaya orang yang melemparinya dihancurkan, kemudian nabi menjawab:”hei malaikat, kalau orang itu dihancurkan, bagaimana nanti anaknya? Andaikan ayahnya saat ini tidak mau, mudah-mudahan cucunya nanti mau”. Seperti itulah ketabahan rosululloh saw.
jalankan syareat, thorekat, hakekat dan makrifat, supaya badannya berisi, nyawanya terisi, rasanya terisi, dan rasa dan rasanya terisi. Alat untuk mengisinya adalah dzikrulloh.
isikan dzikir tersebut ke dalam setiap lathifah, dari qolbi, ruhi, sirri, khofi, akhfa,nafsi, sampai kepada qolab. Rambut, kulit, daging, tulang, sumsum, urat, dan darah penuh dengan rasa dzikir.
dzikir tersebut tidak akan mengisi jika tetap tidak fokus.
ibadahkan badan dengan cara melaksanakan fiqih
ibadahkan nyawa dengan cara melaksanakan tasawuf.
Ibadahkan rasa dengan cara melaksanakan tauhid. 
ibadahkan rasa dalam rasa dengan cara yakin seyakin-yakinnya.
tidak termasuk yakin jika belum benar-benar percayanya, sesaat percaya, sesaat lagi ragu. Itu berarti kosong. Kalau sedang banyak uang percaya segalanya dari alloh, tapi kalau tidak sedang punya uang ragu kepada tuhan.
untuk meningkatkan yakin, maka dzikirnya harus merasuki setiap lathifah agar terus meningkat kapada muroqobah.
Isro mi’roj mengandung makna:
Isro, berjalan terus pantang mundur. Mi’roj,naik terus dan terus naik
maknanya yaitu menjalankan ibadah yang tidak ada hentinya.
Rek kumaha lumampah dina ibadah anu teu eureun-eureun mun dina dzikir ge sok dipake ngalamun, kulantaran kitu kudu:
mau menjalankan ibadah yang tiada hentinya, kalau dalam dzikir dipakai untuk melamun. Oleh karena itu, maka kita harus "ud khulù fìs silmi kàffah".
“masuklah ke dalam islam secara menyeluruh”
(Al-Baqoroh 208).
yaitu pasrah kepada tuhan, menyerahkan segala kepada tuhan.
amal kita tergantung kepada penyerahan yang kita lakukan:
"inna sholàti wa nusukì wa mahyàya wa mamàti lillàhi robbil 'àlamìn".
sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidup dan matiku, aku serahkan kepada tuhan sekalian alam.
(Du'a Iftitah).
pentingnya dzikir harus sampai keluar suara adalah supaya timbul dalam diri rasa cinta. Seperti sabda nabi:
"Alàmatu hubbillàhhi hubbu dzikrillahh".
cirinya cinta kepada alloh adalah cinta kepada dzikir pada alloh.
apakah yang suka dzikir sudah timbul cintanya?jika semenit cinta tapi sejam tidak, maka itu belum termasuk cinta. Jika baru saja memulai dzikir ketiga menuju keempat sudah sayyiduna, maka itu belum termasuk cinta. Bukan tidak suka dzikir tapi belum cinta pada dzikir.
Rasa cinta bisa timbul karena dibiasakan. Adapun jika sudah cinta, maka akan mendapatkan makrifat, yaitu menyerahkan segala kepada tuhan, apakah itu dalam ibadah, termasuk ketika makan minum juga atau di saat apapun juga, raga dan nyawa kita dipasrahkan kepada tuhan.
Yang namanya pasrah itu bukan badan menghadap tapi hati membelakangi.
Segera laksanakan thorekat qodiriyyah naqsyabandiyyah ini dengan sungguh-sungguh meskipun sedang belajar juga syareat tetap kita pakai, meskipun hanya baru bisa membaca juga thorekat kita jalankan, agar syareat dan thorekat, badan dan hati condong kepada lillahi ta`ala.
Manusia yang lillahi ta`alam adalah manusia yang selalu hatinya sadar dzikir kepada alloh, sebagaimana sabda nabi saw:
"dzikrul khofi afdholu ming dzikril jahri sabi'ina du'fan".
“dzikir khofi lebih utama daripada dzikir jahar, dengan 70 lipatan keutamanaanya”
(HR.Baihaqi).
sabdanya juga:
"là tasma'ul hafadho".
“tidak terdengar oleh malaikat hafadho”
tidak terdengar, tidak tertulis tidak tercatat, kecuali alloh yang mendengar, menuliskan, dan mencatatkan.
amal yang lupa dari dzikrul khofi, maka alloh berfirman:
“kenapa tidak ada lillahi-nya? Kenapa tidak ditujukan padaku”
nah, jika demikian, maka amal kita dikembalikan lagi, malah dilemparkan kepada yang punya amalnya, sebab penuh dengan ria, ujub, dan takabbur.
untuk manusia yang telah dimasuki dzikir khofi, maka harus "idzabtuliya shobaro wa idza u'thiya syakaro"
“dimana musibah datang, maka harus bersabar, dimana datang kebahagiaan, maka harus bersyukur”
Mun datang musibah, harita keneh kudu karasa yen musibah teh ti Allah, teu kudu ditalengteng deui.
jika musibah datang, maka saat itu juga harus merasa bahwa musibah adalah dari alloh, teu kudu ditalengteng deui. Kadongdora atuh mun kapanggihna geus 8 poe atawa saba'dana nyiksa anak jeung pamajikan, bari teu pira musibahna, pedah pare ku beurit.
jika kebahagiaan datang, maka saat itu juga bersyukur kepada alloh.
jika telah ajeg dzikir khofinya, musibah datang, sabar, bahagia datang, syukur, sebab sudah merasa bahwa diri sendiri juga banyak salahnya.
disebut dalam hadis qudsi:
“barangsiapa yang tidak pasrah terhadap takdirku, barangsiapa yang tidak sabar terhadap cobaan dariku, barangsiapa yang tidak bersyukur terhadap anugrah dariku, maka keluarlah dari bawah langitku, dan carilah tuhan selainku”
demikian kerasnya kemarahan alloh, dikarenakan tidak bertemunya rasa kita dengan rasa lillah, alloh berfirman dalam hadis qudsi: “aku adalah sesuatu yang harus diingat oleh manusia,dirasakan oleh manusia, manusia juga adalah rasaku, rasakan saja segalanya karena segalanya milik alloh”
diberi seperti ini salah, diberi seperti itu salah, kalau begitu berarti inginnya yang lain.
untuk membuang musibah, masukkan dzikir khofi agar merasuki tulang hingga sumsum, supaya selamanya merasa diawasi oleh alloh, itulah yang disebut muroqobah.
dzikir tersebut, laksanakan dengan sungguh-sungguh untuk mengisi rasa, jangan sampai dirongrong oleh segala aturan. Jika mendapatkan rasa pedih atau kesulitan, maka anggaplah lalab, bumbu dari alloh untuk melatih diri kita.

sumber : .dokumenpemudatqn.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Karakter Diri menurut Juz Al Quran 1-30

RAHASIA LEBIH DARI LAM ALIF لا, LAM jalala Bagian 2

Terjemah Kitab Qotrul Ghoits (Cahaya Iman), Syaikh An-Nawawi Al-Jawwi