MAJELIS 8-7 RISALAH MA'RIFAT 6 : TAREKAT PARA SUFI
RISALAH MA'RIFAT 6 : TAREKAT PARA SUFI
TAREKAT (thariqah), seperti syari’at berarti jalan, hanya
saja yang pertama berarti jalan kecil (path) sedangkan yang terakhir berarti
jalan besar (road). Tarekat kemudian dipahami sebagai jalan spiritual yang ditempuh
seorang Sufi. Selain tarekat sering juga dipakai kata suluk yang artinya juga
jalan spiritual, dan orangnya disebut salik. Tetapi kata tarekat juga dipakai
sebagai kelompok persaudaraan atau orde spiritual yang biasanya didirikan oleh
seorang Sufi besar, seperti Abdal-Qadir jaelani, Sadzali, Jalal al-din Rumi dan
lain-lain. Nama tarekat tersebut biasanya diberi nama sesuai dengan nama-nama
para pendirinya. Karena itu kita mengenal tarekat Qadiriah, Sadzaliyah atau
Mawlawiyah yang dinisbatkan dengan kata Mawlana (guru kami) sebuah sebutan yang
diberikan oleh para pengikut Jalal al-din Rumi kepada dirinya.
Sebagai jalan spiritual, tarekat ditempuh oleh para Sufi dan
Zahid di sepanjang zaman. Setiap orang yang menempuhnya mungkin mempunyai
pengalaman yang berbeda-beda, sekalipun tujuannya adalah sama, yaitu menuju
Tuhan, mendekati Tuhan bahkan bersatu dengan-Nya, baik dalam arti majaz atau
hakiki, yaitu kesatuan mistik atau ittihad (mystical union). Meskipun begitu
para ahli sepakat untuk memilah-milah tahapan perjalanan spiritual ini ke dalam
station-station (maqamat), dan keadaan-keadaan (ahwal). Sementara maqamat
dicapai dengan usaha yang sadar dan sistimatis, ahwal adalah keadaaan-keadaan
jiwa (mental states) yang datang secara spontan dan berlangsung relatif cepat
dan tak lama.
Selain pengalaman spiritual yang berbeda-beda dari seorang
Sufi dalam tarekatnya, intensitas dan kecepatan perjalanannya pun bisa
berbeda-beda. Ali Nadwi misalnya menggambarkan perjalanan mistik Rumi seperti
burung rajawali (falcon) yang bisa dengan cepat tiba di tangan rajanya,
sedangkan ‘Aththar seperti semut. Rumi sendiri misalnya mengatakan,” Seorang
Sufi bermi’raj ke Arasy dalam sekejap; sang Zahid perlukan sebulan untuk sehari
pejalanan.”
Walaupun jalan spiritual ini obyektif, karena dialami oleh
orang-orang suci di sepanjang zaman, tetapi pengalaman masing-masing Sufi dalam
menempuh perjalanan tersebut adalah subyektif. Dan karena sifat pengalamannya
subyektif, maka tidak mungkin kita mengharapkan adanya keseragaman ungkapan dan
nama-nama tahapan (maqamat) atau keadaan-keadaan (ahwal) dari seluruh atau
masing-masing Sufi. Oleh karena itu wajar, kalau para penulis Sufi berbeda
misalnya dalam menamakan maqam-maqam ataupun urutan-urutannya. Al-Kalabadzi,
misalnya menyebut maqam-maqam tersebut sebagai berikut: taubat, zuhud, sabar,
faqr, tawadhu’, taqwa, tawakkal, ridha’, mahabbah dan ma’rifat, sementara
al-Ghazali menyebutnya sebagai berikut : taubat, sabr, faqr, zuhud, tawakkal,
mahabbah, ma’rifat dan ridha, sedangkan al-Qusyairi sebagai berikut; taubat,
wara, zuhud, tawakkal, sabar dan ridha. Selain perjalanan tersebut digambarkan
secara datar dan dalam bentuk prosa, seperti tersebut di atas, ada juga yang
menggambarkannya secara simbolis dan dalam bentuk puitis. Farid al-Din ‘Aththar
misalnya menggambarkan perjalanan spiritualnya dengan indah dalam karya
puitisnya Manthiq al-Thayr sebagai perjalanan panjang dan melelahkan dari
burung-burung (yang melambangkan jiwa-jiwa manusia) dalam rangka menjumpai raja
mereka “simurgh”. Untuk itu mereka harus melampaui tujuh lembah yaitu lembah
pencaharian, lembah cinta, ma’rifat, perpisahan, kesatuan, keheranan, faqir dan
fana’. Atau seperti Ibn ‘Arabi yang melukiskan pengalaman spiritualnya secara
detail tanpa berusaha memberi nama masing-masing tingkatnya tetapi menceritakan
dengan gamblang perjalanan manusia dari tingkat indrawi menuju tingkat
imajinal, dan dari dunia imajinasi ke tingkat spiritual murni. Sekurangnya ada
19 tingkatan yang digambarkan Ibn Arabi dalam kitabnya Risalat al-Anwar fima
yumnah shahib al-khalwa min al-Asrar, sebelum akhirnya manusia kembali kepada
dunia indrawi.
Apa yang kita gambarkan selama ini tentang tarekat, adalah
pengertian tarekat sebagai perjalanan spiritual, yang juga disebut suluk.
Tetapi ada pengertian lain dari tarekat dalam arti persaudaraan atau ordo
spiritual. Pengertian ini sebenarnya yang lebih dikenal oleh kalangan luas,
seperti Tarekat Naqsabandiah, Sinusiah, Qadiriah dan sebagainya. Tentu bukan
tempatnya di sini untuk membahas satu persatu tarekat tersebut, namun beberapa
hal tentang tarekat ini perlu dikemukakan. Pertama, tentang metode spiritual
dan peranan sang guru (mursyid). Karena tasawuf pada hakekatnya tidak bisa
dipelajari lewat buku, maka latihan spiritual berupa dzikr, atau sama’, adalah
cara yang efektif untuk memahaminya lewat pengalaman batin. Daripada
mengajarkan murid-murid tentang ajaran-ajaran para Sufi, seorang guru akan
mengajak murid-muridnya untuk melakukan perjalanan bersama melalui dzikir
menuju tuhan, dengan metode yang pernah dialami oleh si mursyid. Dengan begitu
sang guru berharap bahwa apa yang pernah ia alami dengan metode yang sama akan
juga dialami oleh murid-muridnya. Metode ini harus diikuti dengan disiplin yang
tinggi dan dengan penuh ketaatan kepada petunjuk sang guru. Ini terjadi karena
sang guru merasa yakin hanya dengan cara itulah maka pengalaman seorang murid
akan sesuai dengan yang direncanakan. Dalam hal ini murid tidak boleh protes
atau membangkang, dan seorang murid harus bertindak seolah-olah seperti mayat
dalam pangkuan orang yang memandikannya. Boleh saja membangkang, tetapi sang
guru tidak bertanggung jawab atas kegagalan sang murid yang membangkang
tersebut dan tidak ada jaminan bahwa usahanya itu akan berhasil. Jadi inilah
kira-kira peranan sang mursyid terhadap muridnya, yakni memastikan bahwa segala
hal-ihwal metodenya dijalankan sepenuhnya oleh sang murid. Baru setelah
segalanya dijalankan dengan baik, seorang murid bisa berharap sukses dalam
upaya tersebut.
Komentar
Posting Komentar