MAJELIS 8-6 RISALAH MA'RIFAT 5 : MA'RIFAT PARA SUFI
RISALAH MA'RIFAT 5 : MA'RIFAT PARA SUFI
MA’RIFAT adalah
sejenis pengetahuan dengan mana para Sufi menangkap hakikat atau realitas yang
menjadi obsesi mereka. Ma’rifat berbeda dengan jenis ilmu lainnya, di mana ia
menangkap obyeknya secara langsung, tidak melalui representasi, image ataupun
simbol dari obyeknya tersebut.
Seperti indra
menagkap obyeknya secara langsung, demikian juga “hati” atau intuisi menangkap
obyeknya secara langsung, perbedaannya terletak pada jenis obyeknya; kalau
obyek indra adalah benda-benda indrawi (mahsusat), obyek intuisi adalah
entitas-entitas spiritual (ma’qulat). Dalam kedua modus pengenalan ini manusia
mengalami obyeknya secara langsung, dan karena itu ma’rifah disebut sebagai
ilmu dzauqi (experiental), yang biasanya dikontraskan dengan pengetahuan
melalui nalar (bahtsi). Walaupun sama-sama melalui pengalaman / dialami
seseorang, namun hubungan orang itu dengan obyeknya berbeda. Dalam pengenalan
indrawi obyek-obyeknya berada di luar dirinya, dan dikaitkan dengannya melalui
“representasi”, sedangkan obyek-obyek intuisi, hadir begitu saja dalam diri
orang tersebut, dan karena itu disebut “ilmu hudhuri” dan bukan “ilmu hushuli”.
Ma’rifat dapat
dibedakan dengan ilmu-ilmu rasional, dimana pemilahan antara subyek dan obyek
begitu dominan, dan jarak antara keduanya sangatlah lebar. Walaupun ilmu
rasional atau tepatnya akal sama-sama menangkap obyek-obyek ma’qulat (ruhani)
sebagaimana intuisi tetapi cara keduanya berbeda. Akal menangkap obyek ruhani
melalui hal-hal yang telah diketahui menuju yang tidak diketahui, jadi bersifat
inferensial. Sementara intuisi menangkap obyeknya langsung dari sumbernya,
apakah Tuhan atau malaikat, melalui apa yang dikenal sebagai penyingkapan,
mukasyafah atau penyinaran (iluminasi) dan penyaksian (musyahadah).
Penyingkapan ini bisa terjadi dalam keadaaan jaga atau mimpi, dapat mengambil
bentuk ilham atau wahyu, atau terbukanya kesadaran hati akan kenyataan yang
selama ini tersembunyi demikian rapat.
Ma’rifat tidak bisa
diraih melalui jalan indrawi, karena menurut Rumi itu seperti mencari-cari
mutiara yang berada di dasar laut hanya dengan datang dan memandang laut. Ia
juga tidak dapat diperoleh lewat penggalian nalar, karena itu akan sama seperti
orang yang menimba laut untuk mendapatkan mutiara. Untuk mendapatkan mutiara
(ma’rifat) orang membutuhkan penyelam ulung dan beruntung; yakni butuh seorang
mursyid yang berpengalaman. Bahkan mengingatkan bukan hanya penyelam yang ulung
tetapi juga beruntung, yakni tergantung kepada kemurahan Tuhan, karena tidak semua
kerang mengandung mutiara yang didambakan.
Ma’rifat, seperti
yang telah dikemukakan, berdasarkan pada pengalaman; artinya ia harus dialami,
bukan dipelajari. Seperti memahami rasa manis, akan bisa dengan mudah dengan
langsung mencicipi gula. Mencoba memahaminya lewat keterangan orang lain atau
membaca buku akan mendapatkan pengetahuan yang semu. Paling banter, hanya bisa
menghampirinya tanpa bisa menyentuhnya. Ma’rifat tidak bisa dipelajari dari
buku, bahkan buku para Sufi sekalipun. Ketika kita datang kepada seorang
mursyid, maka ia akan mengajak kita berdzikir dan melakukan disiplin-disiplin
spiritual yang keras, agar kita mengalami pengalaman-pengalaman mistik atau
keagamaan sendiri dan bisa mencicipinya sendiri. Buku bagi seorang Sufi
hanyalah simbol karena terdiri dari huruf-huruf yang tidak lain daripada simbol
yang disepakati. Tapi bisakah kita menyunting mawar dari M.A.W.A.R.?
Perbedaan lain antara
ma’rifat dengan jenis pengetahuan yang lain adalah cara memperolehnya. Jenis
pengetahuan biasa diperoleh melalui usaha keras, seperti belajar, merenung,
mengasah otak dan berpikir keras melalui cara-cara berfikir yang logis, jadi
manusia memang betul-betul berusaha dengan segenap kemampuannya untuk
memperoleh obyek pengetahuannya. Tetapi ma’rifat tidak bisa sepenuhnya
diusahakan manusia, pada tahap akhir semuanya tergantung kemurahan Tuhan.
Manusia hanya bisa melakukan “persiapan diri” (isti’dad) dengan cara
membersihkan diri dari segala dosa dan penyakit-penyakit jiwa lainnya, yakni
akhlak yang tercela. Ibarat kaca yang dipasang untuk menerima cahaya matahari
ke dalam rumah hati kita, kaca tersebut harus senantiasa dibersihkan dari
segala debu yang menempel di atasnya, agar ketika sinar matahari itu masuk atau
hadir maka kaca kita siap mengantarkannya ke dalam jantung rumah kita dan
memberi cahaya pada sekitarnya. Sehingga terjadi iluminasi terhadap benda-benda
yang ada disekitarnya dan membuat benda-benda yang tak tampak atau
remang-remang menjadi jelas dan terang benderang.
Komentar
Posting Komentar