MAJELIS 8-5 RISALAH MA'RIFAT 4 : HAKIKAT PARA SUFI
RISALAH MA'RIFAT 4 : HAKIKAT PARA SUFI
PARA SUFI menyebut
diri mereka “ahli hakikat”. Penyebutan ini mencerminkan obsesi mereka terhadap
kebenaran hakiki; karena itu mudah dipahami kalau mereka menyebut Tuhan dengan
al-Haqq, seperti yang tercermin dalam ungkapan al-Hallaj.”Aku adalah Tuhan”
(ana al-Haqq). Obsesi terhadap hakikat (realitas absolut) ini tercermin dalam
penafsiran mereka terhadap formula “La ilaha illah Allah “ yang mereka artikan
tidak ada realitas yang sejati kecuali Allah.
Bagi mereka Tuhanlah
satu-satunya wujud yang hakiki, dalam arti ialah yang betul-betul ada, ada yang
absolut, sedangkan yang lain keberadaannya tidak hakiki atau nisbi dan
tergantung kepada kemurahan Tuhan. Dialah Tuhan yang awal dan akhir, yang lahir
dan batin, “sebab” dari yang segala ada dan tujuan akhir tempat mereka kembali.
Ibarat matahari, Dialah yang memberi cahaya kepada kegelapan dunia, dan
menyebabkan terangnya obyek-obyek yang tersembunyi dalam kegelapan. Dia jugalah
pemberi wujud, sehingga benda-benda dunia menyembul dari persembunyiannya.
Al-Qur’an
menggambarkan Tuhan sebagai al-Awwal dan al-Akhir, al-Zhahir dan al-Bahtin.
Al-Awwal dipahami para sufi sebagai sumber atau asal dari segala yang ada,
Prima Causa, sebab pertama dari segala yang ada di dunia. Dia yang Akhir
diartikan sebgai “tujuan akhir” atau “tempat Kembali” dari segala yang ada di
dunia ini, termasuk manusia. Dialah pula pulau harapan ke mana bahtera
kehidupan manusia berlayar. Dialah “kampung halaman” ke mana jiwa manusia yang
sedang mengembara di dunia rindu kembali. Dia adalah “muara” kemana perjalanan
spiritual seorang sufi mengalir. Dialah sang kekasih, dimana sang pecinta
selalu mendambakan pertemuan. Dnilah tujuan akhir ke mana sang Sufi
mengorientasikan seluruh eksistensinya.
Tuhan juga digambarkan
sebagai “al-Zhahir” dan “al-Bathin”, dan ini menggambarkan “imanensi” dan
“transendensi” Tuhan. Bagi para sufi alam lahir (dunia indrawi) adalah cermin
dari Tuhan, atau “pantulan” Tuhan dalam sebuah cermin. Alam lahir karena itu
merupakan refleksi atau manifestasi (tajalliyat) Tuhan, dan karena itu tidak
berbeda dari diri-Nya, tetapi juga tidak sama. Dan ketidaksamaannya ini
terletak dalam sifat diri-Nya sebagai yang Bathin. Sebagai yang Batin, Tuhan
berbeda atau mentransenden alam lahir, Dia adalah sumber, prinsip atau sebab,
sedangkan alam adalah turunan, derivatif dan akibat daripada-Nya. Tuhan adalah
mutlak sedangkan alam adalah nisbi, Tuhan ibarat matahari, sedangkan alam
adalah cahayanya. Keberadaan matahari tidak tergantung pada cahayanya., namun
justru keberadaan cahaya sangat bergantung pada matahari. Jadi, keberadaan alam
sangat tergantung kepada-Nya. Sifat dasar diri-Nya adalah niscaya atau wajib,
sedangkan sifat dasar alam adalah mungkin.
Pernyataan “la ilaha
illa Allah” ditafsirkan para sufi sebagai penafian terhadap eksistensi yang
lain, termasuk eksistensi dirinya sebagai realitas. Konsep fana’ atau “faana’
al-fana” adalah ekspresi sufi akan penafian dirinya, sedangkan konsep baqa’
adalah afirmasi terhadap satu-satunya Realitas Sejati, yaitu Allah, atau Tuhan
yang dinyatakan dalam formula “illa Allah”. Fana’ dan baqa’ dipandang sebagai
“station” (maqam) terakhir yang dapat dicapai oleh seorang sufi. Para sufi
berdaya upaya sedapat mungkin untuk mencapai maqam tersebut, termasuk membunuh
“ego”nya sendiri yang dipandang sebagai “kendala” atau menurut istilah mereka
“berhala” terbesar yang bisa menghalangi perjalanan spiritual mereka menuju
Tuhan. Dengan begitu ibadah mereka diikhlaskan atau dibersihkan dari segala
unsur syirik, sebagai syarat diperkenankannya masuk kehadirat Tuhan. Rumi
pernah berkata “Satu lubang jarum bukanlah untuk dua ujung benang.”
Komentar
Posting Komentar